🍁 6 | Lo Kenapa, Nay? 🍁

171 75 24
                                    

"Keluarga pasien atas nama Naysilla?" Perkataan seorang pria paruh baya berjas putih beserta stetoskop yang menggantung di lehernya itu sukses membuat kedua lelaki dengan wajah lebamnya langsung terperanjat. Mereka melemparkan tatapan sinis antara satu dengan lainnya.

"Saya, Pak." Darren angkat bicara seraya bangkit dari posisi duduknya, lalu melangkahkan kakinya mendekat ke arah sang dokter. Hal itu mengurungkan niat Jo untuk bangkit.

"Mari, ikut ke ruangan saya. Ada beberapa hal yang ingin saya bicarakan."

Darren mengangguk. Dia pun melangkahkan kakinya dan membuntuti dokter itu. Setelah kepergian Darren, Jo mengembuskan napasnya gusar. Perasaan tak karuan berkecamuk di dalam hatinya. Dadanya bergejolak tak seperti biasa. Ada guratan penyesalan atas kondisi Nay saat ini.

Jo pun bangkit. Perlahan, derap langkahnya terdengar di lorong rumah sakit yang sudah lumayan sepi. Mengingat saat ini jam telah menunjukkan pukul dua belas malam. Lelaki itu mendekat ke arah pintu. Tangan kanannya mulai menggenggam pegangan pintu. Dibukalah pintu itu. Dia pun masuk, kakinya melangkah mendekati ranjang di mana Nay tengah terbaring. Hatinya meringis kala melihat jarum infus tertancap apik di pergelangan tangan Nay.

"Maafin gue, Nay," ucap Jo pelan.

Lelaki itu duduk di kursi yang berada tepat di sebelah kanan ranjang Nay. Dilihatlah wajah polos Nay yang masih memejamkan mata. Dia pun meneliti setiap senti bagian wajah Nay, hingga dirinya menyadari, bahwa gadis itu memiliki bulu alis yang tersusun rapi bak telah disulam. Bulu mata Nay yang lentik pun menjadi pusat perhatiannya.

"Seharusnya, gue enggak nurunin lo di tengah jalan. Seharusnya, gue nganterin lo sampe ke depan rumah. Bener kata Bunda, gue itu cowok enggak bertanggung jawab, Nay."

Jo menggenggam tangan Nay seraya menunduk. Penyesalannya kian lama kian dalam saja. Baru kali ini, dia merasakan kekhawatiran akan sosok gadis yang selama dua tahun terakhir telah merecoki hidupnya. Tak lama, dirinya menyadari adanya pergerakan dari jemari tangan Nay. Sontak, dia pun langsung mengangkat kepalanya, lalu menatap wajah Nay.

"Na—Nay, lo udah sadar? Lo enggak apa-apa, 'kan?"

Nay mulai membuka matanya perlahan. Ada kerutan di dahinya saat seberkas cahaya mulai menelusup dan menimpa netra matanya. Gadis itu pun mengerjapkan matanya lagi. Kini, tatapan mata sayunya itu tertuju pada lelaki yang ia sukai selama ini—Jo.

Mulutnya terbuka, ingin berucap kata tetapi nampak sulit dirasa. "Kk ... Ka—Kakak?"

"Iya, Nay. Ini gue. Lo enggak apa-apa, 'kan? Apa yang sakit?" tanya Jo bertubi-tubi.

Nay tersenyum tipis. Gadis itu mengalihkan tatapannya pada sesuatu yang berada di nakas. Tangannya melepaskan genggaman tangan Jo, lalu berusaha meraih segelas air putih di sana.

Sadar akan apa yang Nay lakukan, Jo pun bertanya, "Lo haus, Nay?"

Nay mengangguk pelan. Dengan sigap Jo mengambil gelas itu. Dia pun membantu membenarkan posisi Nay, hingga gadis itu menjadi setengah berbaring.

"Ini, Nay."

Jo mendekatkan gelas itu ke bibir Nay, menyuapinya dengan begitu telaten. Nay pun meneguk seperempat airnya.

"Udah?" tanya Jo yang dibalas anggukan kecil Nay.

Hening tercipta antara mereka berdua. Kondisi Nay yang masih lemah, menjadi penyebab utamanya . Biasanya, gadis itu akan selalu mencairkan suasana yang ada. Namun, tidak dengan sekararang. Dan, Jo? Lelaki itu masih bingung harus berkata apa padahal pikirannya sibuk dan berkecamuk.

BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang