🍁 27 | Pembawa Sial 🍁

29 15 14
                                    

-----------

"Na-nay pembawa sial ...."

-- Nay --

HARI Minggu adalah hari yang paling ditunggu-tunggu oleh orang-orang yang sudah lelah melakukan aktivitas padat nan tiada henti selama satu minggu ke belakang. Sebagain besar dari mereka, memanfaatkan hari Minggu sabagai ajang 'cuci mata' untuk sekadar refreshing ke tempat wisata. Ada juga yang mempergunakannya untuk berolahraga, becengkerama dengan keluarga, teman, pasangan, atau sekadar me-time saja. Sayangnya, di hari Minggu kali ini, Nay tak melakukan semua aktivitas yang disebutkan tadi.

Gadis yang kini menggunakan celana jeans putih yang dipadupadankan dengan kaus belel berwarna senada beserta tambahan cardigan hitamnya, tengah berada di perjalanan menuju ke rumah sakit untuk menjenguk Dita.

Seharusnya, ia diantar oleh Jo. Namun, kejadian semalam, tampaknya membuat rasa segannya terhadap sang kekasih semakin besar saja. Ia juga tak ingin dicap sebagai gadis yang sudah menciptakan perdebatan antara Jo dan ayahnya.

"Dasar, bego!" ucap Silva di telepon saat Nay bercerita bahwa ia sama sekali tak punya nomor telepon Jo sebagai alibi terakhir yang melintas di benaknya kala itu.

"Emang wajib, ya, setiap pasangan punya nomor telepon masing-masing?" tanya Nay, polos.

Di seberang telepon, Silva menepak keningnya cukup kencang, seraya berkata, "Terserah lo!" yang langsung diiringi dengan nada pemutusan telepon secara sepihak--tut, tut, tut.

"Pacar kan bukan tukang ojek!" Nay menggerutu dalam hatinya."

Pada detik ini, Nay sudah sampai di lobi rumah sakit. Langkahnya langsung tertuju pada ruang ICU yang terletak di sebelah kanan pertigaan, penghubung antara lorong menuju ke ruang inap pasien kelas 2 dan kelas 3. Kakinya terus melangkah, melewati ruang poli anak, apotek, dan juga taman kecil yang tampaknya dibuat dan didesain khusus oleh pihak rumah sakit agar lingkungan rumah sakit terlihat lebih sejuk. Rasanya, ia sudah tak sabar lagi ingin menemui sahabatnya yang sudah cukup lama tak ia temui.

Tiga menit kemudian, ia tiba di ruangan tempat di mana Dita dirawat. Dilihatnya, Hendra--ayahnya Dita--dan Devi--ibunya Dita--yang tengah berdiri di depan jendela ruang ICU dengan posisi saling menopang tubuh mereka masing-masing. Air muka kesedihan mereka pun sudah terpancar jelas dari radius sekitar sepuluh meter. Sontak, Nay langsung berlari sekuat tenaga yang ia punya.

"Om, Tante, ada apa?" tanya Nay sedikit terengah-engah.

Devi mendekap tubuh Nay erat. Ia sudah menganggap Nay seperti anaknya sendiri, layaknya Dita. Sembari sesenggukan, ia berkata dengan suara lirihnya, "Tante rindu sama Dita, Nay."

Hati Nay mencelos. Kedua tangannya terulur untuk membalas dekapan Devi. Gadis itu berusaha untuk tetap tegar serta mencoba mentransfer ketegaran yang tersisa untuk wanita paruh baya yang berada di dekapannya. Air matanya sengaja ia tahan, bersamaan dengan dagunya yang tercekat kuat--menahan isak tangis karena tak ingin menambah kesedihan kedua orang tua Dita.

"Stts, Tante tenang aja. Dita pasti cepet sadar, kok. Nanti, Nay mau ngajak ngobrol Dita supaya dia cepet sadar. Pokoknya, kalo Dita nggak sadar juga, Nay nanti marahin dia karena tidurnya kelamaan," ujar Nay yang sebenarnya ditujukan untuk menenangkan dirinya sendiri. Setetes air matanya tumpah begitu saja. Sesegera mungkin, ia hapus air matanya itu dengan cepat hingga tak meninggalkan jejak.

Devi melepas dekapannya. Ia menatap netra Nay dengan lekat. Lalu, ia tersenyum tipis sambil mengangguk, mengamini ucapan yang dirapalkan oleh Nay. Tak berselang lama, fokus penglihatan Nay kini tertuju pada jendela yang terhalang oleh gorden yang menutupi setengah kaca jendela bagian dalam. Di sana, cukup terlihat jelas bahwa dokter bersama dengan kedua susternya sedang mengecek perkembangan kondisi dari Dita.

BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang