🍁 23 | Gejolak Rasa 🍁

27 16 13
                                    

       "DEE, ayo makan dulu," ajak Linda kepada Darren.

Sejak tiga menit yang lalu, wanita paruh baya itu sudah mengetuk pintu kamar sang anak tiada henti. Namun, tak ada respons apa pun yang Darren berikan, menciptakan kekhawatiran dalam hati dan benaknya.

Ceklek!

Pintu kamar pun terbuka setengahnya. Linda melangkahkan kakinya perlahan, hingga ia sukses melewati pintu berukuran 1,5 × 2,5 meter itu. Dilihatnya sang anak yang sedang menjadikan lantai kamarnya sebagai objek penglihatan, tidak menyadari kehadirannya sama sekali.

"Ayo kita makan dulu, Dee. Kamu pasti laper, 'kan?" tanya Linda dengan kaki yang terus melangkah untuk mendekat ke arah Darren.

"Ibu sudah masak masakan kesuka--" Ucapannya tiba-tiba terpotong begitu saja kala pandangannya tertuju pada sebuah kotang usang berwarna cokelat pudar yang tergeletak begitu saja di samping tubuh Darren. Pikirannya langsung tertuju pada kejadian menyakitkan belasan tahun lalu.

"Ko-kotak ini ...." Linda terbata. "Da-dari mana kamu mendapatkan kotak ini?"

Darren mendongakkan kepalanya. Tatapan nanarnya tertuju pada netra sang ibu penuh rasa kecewa. Tangannya terkepal kuat, diikuti oleh rahangnya yang mulai tercekat. Dadanya naik turun, menahan gejolak amarah yang semakin berpacu hebat. Tumpukan pertanyaan di benaknya, rasanya ingin meledak saat itu juga. Namun, ia teringat pada apa yang diucapkan oleh Nay beberapa jam yang lalu.

"Darren, Tante Linda pasti punya alasan kenapa dia nggak jujur ke elo soal ini semua. Dan lo seharusnya nggak menghakimi ibu lo sendiri atas kebenaran yang masih abu-abu ini."

Bak baru merasakan semilir angin sejuk di gersangnya padang pasir, Darren memejamkan matanya. Meredam amarahnya bersamaan dengan dadanya yang mengempis saat mengembuskan napas dari indra penciumannya.

"Dari tempat Ibu menyembunyikannya," jawab Darren datar.

"Ja-jadi kamu sudah tau kalau ...." Linda membekap mulutnya, tak siap jika harus menjelaskan semuanya pada detik ini juga. Air mata pu  mulai berlinangan dari pelupuk matanya.

"Darren udah tau siapa Darren sebenarnya, Bu," ucap Darren dengan nada yang bergetar. Ia menelan salivanya, lalu kembali melanjutkan ucapannya, "Darren anak haram, 'kan?"

Linda menggelengkan kepalanya cepat.

"Jawab, Bu. Darren anak haram, 'kan?" Lelaki itu tertawa renyah, mengolok-olok dirinya sendiri. "Darren anak yang nggak punya ayah, ya, Bu?"

"Jangan berkata seperti itu, Dee!" larang Linda tegas.

"Lalu apa, Bu? Siapa ayah Darren yang sebenarnya? Siapa, Bu? Kenapa selama tujuh belas tahun ini Ibu bohong sama Darren? Makam siapa yang selalu kita kunjungi setiap tahunnya?" Darren menuntut jawaban dari pertanyaan yang ia hujamkan pada sang ibu.

"Ibu hanya nggak mau kamu terluka. Cukup Ibu yang menyimpan semua kebenarannya. Biarkan Ibu yang menanggung semua rasa sakitnya karena sudah dikecewakan atas sebuah kebohongan." Air mata wanita paruh baya itu masih saja mengalir begitu deras.

"Kebohongan? Kebohongan apa yang Ibu maksud? Kebohongan yang Ibu tutupi bahwa Ibu adalah seorang wanita penghibur dan perebut suami dari wanita lain?" Darren bangkit dari duduknya, menyejajarkan tubuhnya dengan tubuh sang ibu.

Deg!

Jantung Linda seolah berhenti berdetak saat itu juga. Matanya terbelalak. Nyeri telah menghantam dada hingga ke ulu hatinya. Seluruh organ tubuhnya pun seolah ikut tak berfungsi saat itu juga.

"Jawab, Bu! Jawab!"

Plak!

Sebuah tamparan mendarat di pipi kanan Darren. Wajahnya terdorong cukup keras akibat tamparan secara tiba-tiba itu. Rasa panas pun mulai mejalar di pipinya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia meraskan tamparan dari ibunya sendiri.

BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang