Namun sama Agga tuh memang lebih banyak mengundang emosi. Sudah tiga puluh menit kami hanya jalan. Jalan yang dalam artian sebenarnya. Jalan, naik motor di jalanan, panasan, berdebu juga. Ya ampun, seorang Nad nggak pernah menerima diajak seperti ini.
Memang masih pagi, tapi udara tetap saja panas. Wajahku mulai berkeringat, rambutku jelas sudah nggak rapi lagi. Kutatap punggung Agga dengan pikiran semrawut.
Agga, aku mau diajak ke tempat romantis gitu lho. Aku tahu tadi sudah jawab terserah saat dia tanya mau ke mana. Maksudku, mari kita habiskan hari ini sebagai pasangan yang romantis. Paling tidak belikan saja aku satu gelas es untuk satu hari, dan lalu duduk di ayunan taman anak-anak nggak masalah, asal kita saling ngobrol dan suaramu itu diobral sedikit.
Astaga... Nad! Berhenti berpikir macam itu.
Aku mendengus mana kala merasakan pegal di kaki. Tempat ini mempunyai banyak sekali lampu merah, makanya saat Agga berhenti aku menarik sedikit kemejanya.
"Ga," sebutku pelan. Peka dong, Agga, sedikit saja. Masa sih nggak melihat wajahku yang sudah kelelahan begini.
"Agga," panggilku lagi.
Barulah Agga menoleh, menatapku dengan kening berkerut.
"Sakit?"
Aku menggeleng. Dia pikir keringat ini karena sakit. Ini karena aku nggak pernah naik motor jauh lebih dari sepuluh menit. Wajahku sensitif debu, makanya aku selalu milih naik taksi saat pergi jauh.
"Mau ke mana sebenarnya?" tanyaku dengan lesu.
"Cari tempat, sambil jalan."
Ya ampun. Kalau begitu entah kapan akan sampai.
"Nggak bisa pulang aja?" tanyaku lagi. "Daripada muter, aku capek."
Namun, dengan cara paling menyebalkan yang pernah aku lihat Agga justru melajukan motornya terus mengikuti jalan. Aku menatap punggungnya lesu. Kalau bisa peluk sambil sandaran sih mending, tapi ini aku nggak berani lho. Takut ditolak Agga, nanti malah sakitnya bertubi-tubi.
Lihat Nad, ini kejutan yang kamu bilang? Kejutan paling sialan yang pasti nggak pernah diharapkan manusia.
Ah, betapa hidup dengan Agga akan jadi sangat sucks.
Napasku mengembus lega saat Agga akhirnya berhenti di pinggir jalan.
"Mau pulang?"
Aku mengangguk.
"Nggak jadi sampai siang?"
Aku mengerjap, lantas membuka bibir. Maksudku bukan pulang ke indekos, tapi pulang yang ... ah ya ampun, bagaimana cara bilangnya ke Agga coba?
"Terserah," jawabku akhirnya. Masa sih dia tega banget biarin aku pulang beneran?
Tapi, Nad, dia itu Agga. Minta jemput saja nggak dijemput. Bilang nggak punya duit mau dikasih. Pasti sekarang mau pulang beneran.
"Ga," sebutku lemah. Gusti, kok aku punya pacar yang begini sih? "Nggak serius. Kamu nggak niat ya jalan sama aku?"
Justru dia melirikku aneh. Aku mendengus dibuatnya.
"Kalau nggak niat nggak usah. Aku bisa pulang sendiri."
Kalau sampai diiyakan....
"Mau pulang sendiri?"
BUKAN BEGITU, AGGA! Tapi dia nggak bisa membedakan Nad, yang mana yang serius yang mana yang merajuk dan yang mana yang cuma minta dibujuk!
Dengan perasaan dongkol setengah mati aku turun dari motor, melepas helm dan menyerahkan pada Agga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Agga? Sucks! (SELESAI)
ChickLitNad mencintai Agga setulus saat ia menerima hanya makan mie hampir kadaluarsa di rumah Agga. Kisah ini bermula saat Nad menerima Agga sebagai pacarnya, hanya bermodal rasa penasaran sekaligus suka ketika melihat foto lelaki itu bermunculan di Insta...