Sucks: Part 20

6.7K 759 81
                                    

Aku tersentak bangun mendengar nada dering ponsel. Mas Nata.

"Ya Mas," ujarku begitu terhubung dengannya. Semoga suara nggak seperti orang bangun tidur meski nyatanya memang baru bangun. Setelah sholat subuh tadi aku memang tidur lagi.

"Aku masak banyak, Nad, mau nggak?"

"Enggak usah Mas. Aku males keluar pagi. Mas simpen aja dulu."

"Aku anter aja, sekalian berangkat."

"Jangan, jangan!" Aku gelagapan. Gawat kalau Mas Nata melihat aku cidera begini. "Aku sudah beli juga, nanti nggak kemakan lagi. Mas kan tau aku nggak bisa makan banyak." Kulirik benda di atas meja, tempat makan yang sudah kosong.

Ya, semalam aku menyerah dan menghabiskan masakan Agga--mungkin masakan Agga.

"Ya sudah kalau gitu. Kalau mau ke rumah langsung ya, Nad, disimpen di kulkas."

"Iya."

Selanjutnya Mas Nata mematikan panggilan. Aku membanting diri di kasur lagi, mengerang sebal. Pagi yang sangat tidak segar, menyebalkan, dan sucks. Bangun tidur dan langsung ingat Agga itu nggak pernah ada dalam rencana hidupku, tapi kini, setiap bangun aku mengingat manusia kaku itu.

Bucin sinting. Tolol.

Ah, ya ampun! Bagaimana cara kembali menjadi normal? Aku bosan merasa kesal karena sifat Agga. Lebih lagi lelah patah hati karena dia nggak pernah sesuai ekspektasiku selama ini. Well, siapa yang tidak berharap punya pacar perhatian? Kupikir akan dapat pacar yang kelihatan seram di luar, tetapi aslinya dia sangat perhatian dan care sama pasangan. Nyatanya Agga benar-benar sialan.

Kuusap wajah dengan tangan, lalu kembali duduk. Wake up, Nad. Lupakan Agga dan segala bentuk paling sialan dari laki-laki itu. Mari acuhkan Agga. Lupakan pelan-pelan. Jika Agga bisa tidak memberi kabar berhari-hari, maka kamu juga harus bisa begitu.

Patah hati boleh, tapi tidak boleh lama-lama.

Ough, tidur memang berpotensi membuat pikiran menjadi jernih dan normal. Setelah memberi peregangan pada otot-otot badan, aku berdiri. Kemarin sudah jadi hari menyebalkan, mari buat hari ini lebih baik. Yas, akhirnya aku bebas dari penyakit patah hati lebay. Nggak pa-pa Nad, setidaknya ada usaha untuk menjadi baik-baik saja hari ini.

"Morning, umat galau."

Sapaan yang pas sekali. Aku tersenyum lebar menatap Mbak Rena. "Morning, Teh. Rencananya mau ngapain hari ini?"

"Seperti biasa, ditambah kursus masak."

"Kereeen." Seperti biasa bagi Mbak Rena ya datang ke kampus, lalu setelah itu pergi ke rumah calon mertuanya.

"Baik-baik ya, Nad. Mau dengar pendapat gue soal pacar lo nggak?"

Ah, aku lagi males banget bahas Agga. Akan tetapi apa boleh buat. Aku mengangguk pada Mbak Rena, menyuruhnya masuk daripada bicara di luar kamarku. Dia menghela napas berkali-kali setelah duduk, sementara aku menunggu dengan sabar.

"Jadi setelah tadi malam gue cari informasi soal Agga--wait, lo jangan salah paham ya. Gue juga penasaran banget gimana ada manusia sekaku dia gitu. Jadi tadi malam gue minta bantuan calon imam juga buat cari tau soal Agga."

Aku senang Mbak Rena menyampaikan dengan cara begitu, dia benar-benar menghindari kesalahpahaman di antara kami. Dia selalu positif, baik hati dan penyayang. Siapa pun pacarnya pasti beruntung banget dapat dia.

"Jadi katanya nih, Nad. Pacar gue kenal anak Bisnis, itu tetangga Agga sedari kecil. Ini agak belibet sih menurutku, tapi yakin aja nggak akan sesulit itu kok buat dipahami." Mbak Rena membuka ponselnya. "Nama tetangganya ini Bela, cewek ya. Tapi kayanya nggak deket banget sama Agga karena Agga begitu. Tapi dia tahu kehidupan Agga. Jadi rumahnya ada di daerah dia tinggal saat ini, mungkin rumah yang sekarang Agga tempati sekarang ini rumahnya dia dulu. Bela juga nggak tau karena belum pernah berkunjung kan."

Agga? Sucks! (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang