"Mau pulang barengan, Nad?"
Nadzhetta atau Nada? Tentu saja Nadzhetta, alias aku. Mas Nata jelas menatapku.
"Enggak deh, Mas. Banyak kamera mengintai," ujarku sembari meringis. Mas Nata memang baik banget sampai aku sendiri nggak enak sama dia.
"Serius? Udah hampir malam loh."
"Kan ada Mbak Nada, jadi tenang," balasku. Mbak Nada berdecih, kalau bisa dia akan menyemburku dengan air.
"Ya sudah. Titip Nad ya, Nada."
Beginilah nasib bersahabat sama orang yang punya nama sama. Mbak Nada mengacungkan jempolnya pada Mas Nata saat lelaki itu pamit pulang dulu. Sementara di hadapanku, satu lelaki lagi masih bertahan.
Agga, siapa lagi? Manusia yang ingin sekali aku bedah kepalanya, lalu kuganti isi otaknya.
"Pulang bareng gue apa bareng doi?" tanya Mbak Nada menggoda. Aku melengos, ya bareng Agga lah!
"Ga."
"Apa?" Ia bertanya saat sudah berdiri. Aku menahan napas, menunggu apa yang akan ia lakukan selanjutnya.
"Kamu mau ke mana?" tanyaku sangsi. Jangan bilang mau langsung pergi?!
"Pulang."
Tanganku mengepal kesal melihat tampangnya.
"Nggak antar aku pulang?" tanyaku curiga.
Justru Agga menatapku aneh. "Sama Nada?"
"Itu cuma...!" Ya ampun! Itu cuma alasan biar aku nggak perlu pulang sama Mas Nata!
"Sama Nada aja," ujarnya mengacuhkan wajahku yang sudah memerah.
"Oke!" putusku kesal. "Aku sama Mas Nata aja." Tanpa berpikir panjang, kuambil tas dan tote bag lalu beranjak pergi. Mbak Nada sempat-sempatnya menggodaku juga.
"Bucin banget, Nad. Malu-maluin marga Nad aja."
Aku turun dengan eskalator, berlari menuju parkiran dalam gedung. Duh, Mas Nata juga parkir di mana aku nggak tahu. Aku berhenti saat nggak menemukan Mas Nata. Mungkin sudah keluar dari gedung, atau dia parkir di luar gedung mall ini. Lagipula seluas ini juga aku harus cari di mana?
Sial banget. Ini gara-gara Agga. Aku kira dia akan cemburu kalau aku pilih pulang sama Mas Nata. Akan tetapi wajahnya tetap saja lempeng seperti jalan tol. Aku yang melihatnya berubah jadi tolol.
Menahan kesal, aku berjalan lemas keluar gedung. Hari sudah gelap. Suara adzan terdengar dari beberapa masjid sekitar sini. Aku coba tengok ke belakang, melihat Agga, tapi nggak ada. Ia sungguh tega membiarkan aku begini?!
Sepertinya aku memang harus berani mengambil tindakan kali ini. Sepertinya pula, pacaran dengan Agga sangat sia-sia. Pacaran rasa jomblo. Sudah lah, putus saja, putus. Barangkali kami memang bukan jodoh, dan sifat Agga yang seperti ini adalah petunjuk nyata.
"Nad!"
Sontak aku menoleh ke samping. Agga, di atas motor matic masih di tengah parkiran. Tangannya melambai padaku. Aku dipanggil Agga? Ini serius?!
Ia turun dari motor dan berjalan mendekat saat melihatku hanya diam. Wajahnya kesal banget, langsung saja menarikku ke motornya.
"Katanya pulang," ucapku menyindir. Agga diam saja, memakai helm dan segera naik ke motornya.
"Bisa pulang sendiri, ngapain harus diantar," ujarku sinis, tetapi naik ke boncengan motornya.
Nggak ada jawaban, ia justru memutar gas dan mengendalikan laju motor. Keluar area mall dan bergabung ke jalan raya, lalu berhenti di masjid terdekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Agga? Sucks! (SELESAI)
ChickLitNad mencintai Agga setulus saat ia menerima hanya makan mie hampir kadaluarsa di rumah Agga. Kisah ini bermula saat Nad menerima Agga sebagai pacarnya, hanya bermodal rasa penasaran sekaligus suka ketika melihat foto lelaki itu bermunculan di Insta...