"Nad."
Aku bergumam, mengotak-atik layar laptop yang sialan banget. Sejak tadi respon dari perintah selalu merah. Dasar benda nggak punya hati. Aku pusing. Pusing banget.
"Ada chat tuh."
"Biarin."
Ah, ya ampun. Lagi, merah. Sebenarnya minta dibanting atau dijual saja benda ini? Oke, jual saja otakku, ganti yang baru.
"Telepon tuh."
Aku lagi nggak peduli sama chat atau telepon. Demi segera lulus, tanpa ngulang. Aku sudah muak sekali dengan jurusan ini. Jadi mari segeralah selesaikan.
"Agga."
Shit! Aku kangen pacarku yang sialan itu. Segera kudorong mouse agak keras hingga mengenai buku dan jatuh ke lantai. Ah, ya ampun! Agga telepon, mau apa?!
"Jangan gaduh, di pojok sana!"
Aku membuang napas kesal, lantas mengambil buku yang jatuh dan meletakkan di atas meja.
Ya Tuhan, di saat begini kenapa tiba-tiba Agga telepon? Kepalaku sudah pusing minta dilampiaskan. Otak nggak bisa lagi berpikir dengan benar. Ditambah aku kangen Agga. Satu minggu lebih setelah acara jalan yang berakhir menyebalkan itu sama sekali nggak ada kabar darinya.
Pacaran macam ini?
Bahkan cara kucing pacaran jauh lebih manis dari ini.
"Logaritmenya gimana sih? Pusing banget, Nad."
Aku menatap ponsel yang sudah mati dengan lesu. Telepon sekali lagi, Ga. Ough, tapi jangan. Tidak. Aku bisa melampiaskan segala kepusingan ini padanya. Akan tetapi nggak masalah Nad, toh Agga mungkin cuma diam dan mendengarkan.
Ah, ya ampun! Bahasa Fisika itu sudah susah, kenapa harus ditambah sulit dengan bahasa komputer? Kenapa juga harus ditambah pusing dengan punya pacar seperti Agga? Perasaanku sangat nggilani sekarang.
Aku merosot ke lantai, menyandar ke tembok usai mendorong kursi ke pinggir. Mau menyerah, pindah jurusan, tapi aku sadar sudah tua dan aku nggak begitu bakat kuliah lama-lama. Mau move on, ganti pacar, tapi aku sadar sudah jadi bucin tolol sekarang.
"Agga telepon lagi."
Segera kusambar ponsel di atas meja dan menggeser tombol hijau. "Halo, Agga...."
Plisss, ini lemas karena aku pusing dan kangen secara bersamaan. Jadilah pacar yang manis hari ini, Ga.
"Udah pulang?"
Aku melirik sekitar. "Belum, di perpus."
Sudah jam tujuh malam dan aku masuk bangunan ini sejak jam empat tadi. Ini memang sulit atau otakku yang sudah penuh memikirkan Agga, sih? Aku capek, capek banget. Mau putus, tapi nggak dapat kabar tiga hari saja aku kangen sama dia.
"Nggak pulang?"
"Jemput?" Aku mengembuskan napas lelah. "Kamu di mana?"
"Di Fisika."
"Habis ketemu Mas Nata?"
"Enggak."
"Terus ngapain?" Meski sudah kesal setengah mati soal Cinda, aku nggak mau ungkit sekarang.
"Mau jemput."
Mau jemput? Aku? Ah, aku mau menangis. "Serius?" Aku menghirup udara sebanyak mungkin, ya ampun, kok manis? Kenapa Agga bisa manis?! Dia mau membuat aku semakin tolol untuk dia?
Sialan.
Sucks!
"Sekarang apa nanti?"
"Sekarang!" Aku menutup mulut yang nyeblak, penghuni perpus langsung menatapku, petugas perpus menegur lagi. Aku gugup, seperti orang yang diajak gebetan jalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Agga? Sucks! (SELESAI)
ChickLitNad mencintai Agga setulus saat ia menerima hanya makan mie hampir kadaluarsa di rumah Agga. Kisah ini bermula saat Nad menerima Agga sebagai pacarnya, hanya bermodal rasa penasaran sekaligus suka ketika melihat foto lelaki itu bermunculan di Insta...