Sucks: Part 21

7.1K 808 68
                                    

Tidak semua hal yang aku inginkan akan aku dapatkan. Aku paham itu, meski kadang terlalu sulit menerimanya. Biasanya papa memberiku penjelasan panjang lebar, menyenangkan perasaanku sampai aku merasa nggak mendapatkan itu hal yang biasa saja. Dan aku berusaha keras menerapkan ini untuk sekarang.

Ya, soal Agga.

Siapa lagi. Dia yang saat ini membuat aku berusaha keras menerima keadaan. Aku tidak bisa mendapatkan Agga, dan tanpa papa yang menjelaskan, aku harus bisa menerimanya. Kami bertolak belakang, berbeda, jomplang. Benar kata Mbak Rena. Aku sama sekali nggak berbicara soal masa lalunya atau soal keadaannya. Itu belum terlalu penting. Lebih penting soal bagaimana perasaannya, kepeduliannya, sikapnya.

Tiga hari ini memang dia rutin menghubungiku. Telepon, chat, sekadar menanyakan mau dijemput atau enggak. Dan dengan pasti aku menjawab kalau bisa berangkat dan pulang sendiri. Agaknya memang harus begini. Kami menjauh, dan pelan-pelan belajar melupakan. Barangkali Mbak Rena memang benar bahwa aku sulit menerima dia.

Pertama, aku nggak mungkin bisa mengubah sifatnya yang kaku menjadi lebih hangat. Padahal aku butuh laki-laki yang pengertian dan hangat. Kedua, kalau aku memang kurang pantas untuk Agga, maka dia akan mendapatkan yang lebih dariku. Lebih punya empati, lebih pengertian, lebih bisa menerima.

Sulit, tapi kenyataannya memang begini. Lima bulan itu lama dan hubungan kami jalan di tempat.

"Nadzhetta...."

"Hem?"

"Galau itu nggak enak ya?"

Aku mengangguk setuju. Sialnya, satu hal yang membuatku sulit beranjak dari posisi saat ini adalah soal perasaanku padanya. Seandainya aku nggak melibatkan perasaan, maka semuanya mudah. Namun perasaan untuk Agga muncul tanpa kuminta, tanpa tahu juga apa penyebabnya.

Seandainya aku tahu kenapa aku bisa punya perasaan sebesar ini untuk Agga, maka akan lebih mudah urusannya. Aku bisa menghilangkan alasan itu.

"Apa lagi soal laki-laki nggak peka."

Bukan lagi nggak peka, ini jauh lebih dari itu.

"Sekarang gue tau apa yang lo rasain, Nad."

Aku menghela napas, menjatuhkan kepala ke meja. Nggak akan berhasil secepat ini, Nad. Mau ditulis, diteriakkan, mau nyanyi, mau apa pun nggak mungkin bisa melupakan Agga secepat ini.

Kusobek kertas yang sudah tercoret-coret, lalu meremasnya menjadi bulatan menyebalkan. Sialan Agga. Sucks! Kadal buntung brengsek! Sampai kapan pun aku akan membenci manusia ini.

"Mas Yan, setelah pemrograman gue selesai nggak pernah lagi tuh chat gue."

Berapa kali aku harus bilang kalau aku nggak tahu apa yang dia lakukan sekarang. Aku nggak tahu hidupnya. Aku nggak bisa mempercayai cerita Mbak Rena begitu saja sebelum Agga memberi konfirmasi akan informasi itu.

"Gue kira kita punya perasaan yang sama Nad, tapi kayanya enggak. Dia cuma sekadar tertarik ya sama gue. Setelah puas, ya dia seperti laki-laki lain."

Memang brengsek. Sialan. Aku ingin sekali memecahkan kepalanya, menjambak rambutnya, menendang selangkangannya. Biar Agga mati sekalian, biar aku nggak perlu dibayang-bayangi wajahnya. Biar aku semakin punya alasan kenapa harus mencari laki-laki lain secepatnya.

Aku menutup mata sebentar, lalu duduk tegak lagi. Capek banget kalau selalu mikirin Agga. Saat begini aku benar-benar berharap punya banyak tugas dan bisa mengalihkan pikiran dari Agga.

"Sialan banget ya, Nad."

Ya, sial—an banget. Kenapa dia ada di sini? Maksudku, oke, ini perpustakaan dan siapa pun boleh datang ke sini. Namun, mahasiswa Teknik punya tempat sendiri. Ruangan ini adalah kekuasaan mahasiswa MIPA.

Agga? Sucks! (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang