Sucks: Part 9

6.1K 932 100
                                    

Aku menatap ponsel yang berdering panjang dengan datar. Nama Agga terlihat berkedip beberapa kali, tapi aku enggan mengangkat panggilannya.

Nggak lama setelah panggilan kedua mati, muncul pesan baru darinya.

Agga:
Nggak jadi ikut?

Giliran begini saja tahu aku marah. Dari tadi ke mana sajaaa?!

Aku biarkan pesannya terbaca begitu saja. Akan tetapi kalau aku biarkan juga pasti Agga pergi betulan. Dia nggak akan berpikir ribet.

Jadi aku harus ngalah lagi?

Ah, ya ampun. Jadi pacaran sama Agga memang harus menurunkan standar beberapa level secara langsung.

Aku bangkit dengan dengan lesu, mengambil kunci lagi dan keluar. Agga masih bertahan di atas motor, menatapku sepanjang aku muncul.

"Kalau aku bilang putus kamu juga nggak akan peduli, kan?" tanyaku sarkas.

Aku berdiri di sampingnya dengan sebal. Bersedekap, menatapnya jengah.

"Kenapa?"

"Mikir aja kenapa," sahutku sinis. "Siapa juga yang mau kalau kamu begitu terus."

Agga diam saja selama beberapa saat, dan aku pun sudah kelewat sebal untuk mengatakan hal lain.

"Pakai itu?" tanyanya kemudian.

"Kenapa? Malu punya pacar bajunya kaya gini?" Aku balik bertanya dengan nggak santai sama sekali. Agga menggeleng pelan.

"Nanti kamu malu."

Aku memutar bola mata. Benar kata Mbak Nada, sekali aku dibuat tersipu melihat dia cemburu, seratus kali aku dibuat misuh-misuh karena sikapnya.

"Bilang aja kalau malu jalan sama aku, biar putus sekalian."

"Nad."

Aku diam saja mendengarnya. Kepalang sebal, kesal, dan geregetan.

"Jangan suka ungkit putus."

Kenapa? Nggak suka? Kalau nggak suka bilang alasannya, biar aku ngerti!

"Maaf."

Napasku mengembus kasar. Serius ya, dia sama sekali nggak bisa mengatakan hal yang lebih panjang, lebih jelas dan lebih perhatian? Kutinggalkan Agga masuk indekos lagi, dan dia diam saja kali ini. Usai kututup gerbang, Agga juga pergi.

Malam ini selesai, tapi aku belum juga bisa bilang putus.

***

"Semalam Agga ke sini ya, Nad?

Aku yang masih nyetrika baju menatap Mbak Nada datar. "Iya."

"Butek bener. Putus?" tanyanya lagi. Aku menipiskan bibir, menyemprotkan pelicin dan menggerakkan gosokan lagi.

"Kurang sabar gimana sih, gue itu? Jadi pacar dikabarin tiga hari sekali aja terima. Giliran minta dijemput sekali aja nggak diturutin."

"Jadi putus beneran?" tanya Mbak Nada mengulang.

Aku menekan setrika keras, menggeram kecil. "Sudah gitu dikira nggak punya duit buat bayar tukang ojek." Kubalik baju dan kembali menyemprotkan pelicin, lalu menambahkan dengan nada kesal sekesal-kesalnya. "Gue cuma mau ikut aja nggak dibolehin. Ada laki kelakuan kaya setan begitu."

"Jadi putus nggak sih, Nad?"

"Enggak!" sahutku keras. "Gue tuh hampir bilang putus, tapi nggak jadi."

"Kenapa?"

Karena aku sadar sudah jadi manusia goblok sekarang. Karena juga aku tahu Agga sedikit memperhatikan keadaanku. Aku nggak punya uang saja dikasih, dibeliin makanan walaupun tetap sucks banget.

Agga? Sucks! (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang