Sucks: Part 1

9.2K 926 38
                                    

Bab 1
.

.

.

Shit! Panggilanku dimatikan lagi, untuk ketiga kalinya. Agga memang nggak pernah beres. Kerjanya kalau bukan membuatku kesal setengah mati, ya membuatku ingin sekali memutuskannya. Sudah setengah jam aku menunggu seperti orang bodoh di depan gedung jurusan. Menunggu Agga yang semalam bilang mau jemput jam empat sore. Namun, sampai pukul setengah lima lebih batang hidungnya masih juga nggak muncul.

“Nad.”

Aku membuang napas sebelum menoleh, mendapati lelaki berkemeja biru rapi tengah menuruni tangga.

“Ngapain?”

“Nunggu temen, Mas,” jawabku. Dia dosen, tapi di Kimia sementara aku mahasiswi Fisika murni. Mas Nata, dosen muda yang menjadi idaman para mahasiswa. Kecuali aku, tentu saja. Bagaimana aku bisa naksir saat selalu ingat dulu pernah eek di depannya?

“Masih ada kuliah?” tanya Mas Nata, ia berdiri di sampingku.

“Udah selesai, Mas, tinggal pulang. Tapi masih nunggu teman.”

“Pacar?”

“Bukan,” jawabku sembari tersenyum. Malas sekali mengakui Agga sebagai pacarku.

“Mau pulang bareng? Aku juga sudah selesai ngajar. Jam pulang,” kata Mas Nata lagi. Aku kost di dekat tempat tinggalnya.

“Nggak deh, Mas, nggak enak sama mahasiswi lain,” ujarku setengah bercanda, tetapi serius.

Mas Nata ketawa kecil. “Ya udah, mau ke Masjid dulu,” katanya.

Aku mengangguk kecil, memberinya seulas senyum ramah. Kami ini tetangga, sejak kecil sering bermain bareng, jadi wajar kalau ramah. Akan tetapi semenjak tahu bahwa dia dosen idola di sini, aku agak menjaga jarak. Kalian tahu lah, bagaimana ganasnya para fans wanita kalau tahu lelaki idolanya dekat dengan perempuan.

Lagipula saat ini aku punya tujuan lain, bersama Agga. Ingat ya, hanya aku yang punya tujuan, sementara Agga sama sekali nggak berminat. Bahkan, aku nggak tahu apakah hubungan kami ini dia anggap pacaran atau enggak.

Dari arah parkir motor matic hitam melaju pelan, dikendarai seorang lelaki dengan kemeja hitam berantakan dan rambut keriting yang diikat dengan karet.

Sama sekali enggak menarik, selain bentuk rahang yang tegas dan tatapan mata yang tajam. Bahkan ia lebih terlihat seperti lelaki berandal tidak berpendidikan. Aku sama sekali nggak suka lelaki semacam ini, tetapi Agga berbeda. Hanya penampilannya yang berandal, tetapi dia lelaki yang enggak berulah sama sekali.

“Aku kira lupa,” sindirku begitu ia berhenti. Nggak ada sahutan, cuma menyerahkan helm yang kuterima dengan judes.

“Jangan pulang,” ucapku sebelum ia melajukan kendaraan. “Ke mall dulu, aku mau beli sesuatu.”

Tanpa mengatakan apa pun Agga melajukan motornya. Aku duduk di ujung belakang, ia pun nggak berniat menarik tanganku memeluk pinggangnya. Nggak ada bukti kuat bahwa kami memang pacaran, selain beberapa kali Agga datang menjemputku. Beberapa menit berselang, ia menghentikan motor di depan mall.

“Kok nggak parkir?” tanyaku was-was.

“Mau pulang.”

Pulang?! Shit! Kadal buntung brengsek! Tanganku mengepal kuat saat Agga sungguh diam di atas motor. Dengan perasaan kesal setengah mati, kuhentakkan kaki menjauh.

“Nad,” panggil Agga agak keras.

Aku mempersiapkan diri untuk menatapnya. Emosiku siap menyembur, menghujani wajahnya yang tidak punya ekspresi dengan segala makian. Ia menatapku lama, bibirku semakin mengkerut dibuatnya.

Agga? Sucks! (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang