"Kalau gue sih udah pasti putus."
"Nooo, Nad. Jangan terburu-buru. Tanya dulu kejelasannya sama Agga."
Aku menopang dagu, bibir mengerut dan mata nyalang menatap ponsel di atas meja. Mbak Nada di samping kanan dan Mbak Rena di samping kiriku. Sebagai sesama mahasiswa tua, saat malam dan tidak punya tugas, sudah tentu kami bisa ngobrol sepuasnya.
"Kenapa gue harus tanya kejelasannya, Mbak?" tanyaku pada Mbak Rena, meminta pertimbangan. Mbak Nada nggak akan memberi alasan kenapa aku harus putus yang lain. Baginya Agga sangat sucks dan lelaki sucks tidak pantas mendapatkan perempuan bernama Nad.
"Ya kan nggak boleh berpikir jelek dulu, Nad. Siapa tau Cinda memang cuma temen, tapi ngebet mau deket sama Agga."
Iya juga. "Tapi gue sudah pernah peringati Agga loh, Mbak, biar nggak terlalu dekat sama Cinda."
"Nah itu, nyatanya dia tetap dekat kan? Itu pertanda bahwa lo memang harus putus, Nad." Mbak Nada menyela semangat.
Aku mendesah lagi. Apa benar kata Mbak Nada? Selama ini mungkin memang sudah diberi pertanda supaya cepat putus sama Agga.
"Sebelum memastikan jangan ambil kesimpulan Nad." Mbak Rena menarik badanku agar menghadap dia sepenuhnya. "Pertama, kalau misal Agga larang lo dekat Pak Nata gimana?"
Ya nggak bisa dong. Aku menggeleng keras. "Mas Nata kan tetangga gue, dari kecil gue juga sudah dekat sama dia."
"Nah, sama begitu juga, Nad. Cinda memang bukan teman Agga dari kecil, tapi paling tidak Cinda dan Agga lebih dulu kenal daripada lo dan Agga. Nggak mungkin juga kan, kalau Agga tiba-tiba jauhin Cinda. Apalagi posisi Cinda sudah di depan rumah, walau ada lo di sana, tetap ada rasa enggak enak kalau harus usir karena sebelumnya nggak terjadi apa-apa di antara mereka."
Betul juga. Pasti nggak bisa tiba-tiba. Paling tidak Agga harus bicara sejelas-jelasnya dengan Cinda kenapa ia harus menjauh.
Aku menangkup tangan di depan dada, meratapi kegalauan ini. Putus atau jangan ya? Kalau putus maka aku harus siap dengan patah hatinya, kalau nggak putus maka aku harus siap menghadapi masalahnya.
"Gini nih, Nad." Aku kembali menoleh pada Mbak Nada. "Pertimbangan buat putus sama Agga kan sudah banyak banget. Pertama dari sikapnya, kedua dari restu keluara lo, ketiga dari persoalan Cinda ini. Alasan apa lagi yang membuat lo mau mempertahankan dia sampai sekarang?"
Aku mengerang kecil, mengantukkan kepala ke bantal beberapa kali. Bodoh, tolol, sinting. "Gue cinta beneran deh."
"Nah kan, sinting!"
"Nada!" Mbak Rena menyentak tak suka. "Itu bukan sinting, jatuh cinta memang akan begitu. Bahkan kalau nggak ada masalah begini, tetap ada yang membuat bingung dan gelisah."
"Yaelah, Ren, tau batasan juga kali."
Batasan ya? Apa batasnya mencintai seseorang? Aku bingung. Agaknya nggak ada. Atau aku belum menemukan batas itu saja? Agga... kenapa mencintai kamu harus serumit ini mikirnya? Nggak bisa dikasih klu gitu ya? Biar lebih mudah.
"Kalau sudah sama-sama menyerah, baru berhenti. Selama belum dan masih kuat, nggak pa-pa kok, Nad, berjuang dulu." Mbak Rena mengusap punggungku. "Banyak yang awalnya kisah cinta mulus, tapi akhirnya susah bahkan putus. Kalau yang awalnya susah banget begini biasanya malah langgeng, Nad."
Namun, aku nggak menemukan tanda-tanda kelanggengan hubungan kami. Yang ada selalu sialan, sucks, bajingan, brengsek. Apa yang sudah Agga lakukan padaku sebenarnya?
"Udahlah, Nad. Semakin lama semakin sakit."
Tak lama setelah kedatangan Cinda tadi, aku yang pamit pulang duluan. Aku cuma bilang bisa pulang sendiri, naik taksi. Aku pikir, karena Agga kelihatan lebih manusiawi saat aku sakit, maka dia akan memaksa mengantar. Nyatanya tidak. Aku benar-benar pulang sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Agga? Sucks! (SELESAI)
ChickLitNad mencintai Agga setulus saat ia menerima hanya makan mie hampir kadaluarsa di rumah Agga. Kisah ini bermula saat Nad menerima Agga sebagai pacarnya, hanya bermodal rasa penasaran sekaligus suka ketika melihat foto lelaki itu bermunculan di Insta...