Berladang Bersama.

4 1 0
                                    


Sedari pagi, Gendis sudah bersiap untuk ke ladang tempat kedua orangtua Rembulan bekerja. Sebab, hari ini mereka akan mulai menanam bibit tanaman, sejak beberapa hari yang lalu Gendis sudah merayu Rembulan, untuk membantu kedua orangtua Rembulan menanam bibit. Semula Rembulan menolak, sebab dia tahu, Gendis tidak pernah turun ke sawah ataupun ke ladang, dia kuatir jika sahabatnya itu akan kelelahan, namun, Gendis memaksa, hingga akhirnya Rembulan terpaksa mengiyakan. Dengan syarat, mereka hanya ke ladang ketika libur sekolah, dan jika Gendis terasa lelah,maka dia harus segera istirahat. Dan, Gendispun setuju. Akhirnya, di minggu pagi yang cerah, Gendis sudah bersiap sedari pagi, dengan menggenakan pakaian kaos dan celana training, serta topi lebar, Gendis berjalan menuju garasi rumahnya, dan bersiap menyalakan motor matic miliknya.Ketika motor dinyalakan, tiba-tiba Yuda muncul, krah baju Gendis ditarik oleh Yuda,sambil bertanya pada Gendis, "Mau kemana? Sudah pamit ibu sama bapak belum?" Tanya Yuda menyelidik.

Gendis menepiskan tangan Yuda, dengan mata melotot seolah marah, Gendis berkata pada Yuda, "Gendis mau ke ladang, bantu Rembulan dan emak, ayahya, tanam bibit di ladang. Dan, Gendis sudah pamit sama emak dan bapak, week!" Gendis menjawab pertanyaan Yuda, sambil menjulurkan lidahnya untuk mengejek Yuda.

"Membantu Gendis dan orangtuanya? Mas ikut ya?kalian pasti butuh banyak tenaga untuk bercocok tanam," Tiba-tiba Yuda, meminta untuk ikut, dan langsung naik ke atas motor Gendis. Melihat, perilaku Yuda yang tiba-tiba, dan spontan. Gendis terkejut, tanpa sempat menjawab. Kakak lelakinya itu langsung mengeber motor matic miliknya menuju ke ladang tempat emak dan bapak Rembulan bekerja.

***

Rembulan, emak dan bapak terkejut melihat kedatangan Yuda dan Gendis, ke ladang tempat mereka bekerja. Keduanya tersenyum lebar melihat kearah mereka bertiga, yang tertegun di tengah ladang. Begitu sampai di hadapan mereka bertiga. Gendis dan mas Yuda, langsung menyapa mereka.

"Mas Yuda maksa mau ikut bantu. Gak apa-apa ya, biar cepat selesai," Gendis tersenyum. Pak Parimin dan bu Saripah, menatap pada Yuda, rasa segan terlihat jelas di sorot mata mereka berdua, menyadari hal tersebut Yuda, langsung berusaha menenangkan mereka.

"Ndak apa-apa emak, bapak, saya sudah terbiasa di ladang dan sawah. Saya kan mahasiswa pertanian," Yuda berkata untuk menenangkan hati kedua orangtua Rembulan. Mendengar jawaban mas Yuda, kedua orangtua Rembulan tersenyum lega. Dan, akhirnya mereka ber lima, memulai hari dengan bekerja di ladang.

***

Matahari sudah tepat berada di tengah kepala. Panas yang menyengat, membuat pak Parimin, memutuskan untuk beristirahat, dengan langkah hati-hati, mereka berjalan ditengah ladang menuju ke saung. Terlihat wajah Gendis memerah, dia benar-benar terlihat lelah, karena itu, setibanya di saung, Gendis langsung menghempaskan tubuhnya di atas saung. Berbeda denga mas Yuda, yang masih terlihat bugar, meski sudah berada di ladang dan bekerja di tengah terik matahari. Pak Parimin dan bu Saripah tersenyum, mereka menyadari jika Gendis memang tidak pernah bekerja di kerasa di ladang, jadi kelelahan pasti sangat dirasakannya.

"Kita makan siang dulu, setelah itu kita sudahi pekerjaan kita hari ini," Ujar Pak Parimin, sambil mencuci kedua tangannya dengan air dari ceret.

"Iya, kebetulan emak hari ini membawa bekal yang banyak," satu per satu makanan yang berada dalam rantang, dibuka oleh emak. Terlihat lauk pauk yang sederhana, namun sangat menggiurkan.

"Wah, ini lezat mak. Tempe tahu goreng, ikan asin, telur dadar, sambal dan sayur asam,wah, bisa-bisa saya nambah ini," ujar mas Yuda, dengan wajah sumringah, Rembulan, tersenyum simpul melihat mas Yuda, sungguh terlihat kesederhaan dalam diri mas Yuda, meski dia anak orang berada. Kedua kakak beradik itu memang dididik dengan baik oleh kedua orangtuanya, untuk menghargai dan menghormati oranglain, siapapun itu.

Gendis yang mendengar daftar makanan yang tersedia, langsung bangkit dari tidurnya, dan duduk sambil bersila di hadapan makanan yang sudah ditata rapi di atas saung. Bu Saripah, pak Parimin, dan Rembulan tertawa kecil melihat kelakuan Gendis yang lucu.

"Saya lapar," Gendis berkata dengan wajah tersipu malu.

"Iya kita makan ya, dan makan yang banyak," Bu Saripah berkata sambil menyodorkan sebuah piring untuk Gendis.

"Asiik, maturnuwun emak," Gendis dengan semangat 45, langsung menyendok nasi dan mengambil beberapa lauk pauk. Padahal, saat itu kedua orangtua Rembulan masih belum mengambil nasi dan lauk pauknya. Melihat perilaku Gendis, mas Yuda, refleks mencubit paha adiknya itu, mengingatkan agar Gendis harus berperilaku yang sopan.

"Aduh! Sakit mas," Teriak Gendis. Melihat Gendis yang meringis kesakitan Rembulan, langsung menatap kearah mas Yuda, dan tersenyum lembut pada mas Yuda.

"Tidak apa-apa mas, Gendis biar ambil dulu, kasihan, dia ndak pernah kerja keras di ladang, jadi pasti tenaganya sudah banyak terkuras," Rembulan membela Gendis, dengan pernyataannya. Bapak dan Emak, juga mengangguk mengiyakan pernyataan Rembulan, jadi praktis mas Yuda, yang akhirnya terpojok dengan sikapnya tadi. Gendis, yang merasa memperoleh pembelaan dari Rembulan dan kedua orangtuanya, tersenyum lebar, sebuah senyum kemenangan yang tampak nyata, hingga membuat kakak laki-lakinya, menggeleng pelan.

Puisi Rembulan.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang