Kehadiran pak Lurah di rumah sakit, benar-benar meringankan beban keluarga Rembulan, yah-setidaknya, mereka bisa menghemat untuk uang makan, karena semua kebutuhan mereka untuk makan, sudah dipenuhi oleh pak Lurah. Mereka berempat, terlihat sangat akrab, pak Lurah sendiri tidak bersikap layaknya seorang pejabat desa, meski begitu,kedua orangtua Rembulan termasuk Rembulan tetap bersikap hormat terhadap pak Lurah. Sebab, mereka menyadari status keluarga mereka.
"Hmm, memang lagi musim demam berdarah, tadi siang pak Sanusi, juru tulis saya, laporan jika, di desa kita sudah ada 15 warga kita yang positif demam berdarah," pak Lurah, menceritakan laporan dari pak Sanusi pagi tadi kepada dirinya, tentang mewabahnya demam berdarah di desa mereka.
"Leres pak. Tadi saja, di puskesmas, Joko hampir pingsan, karena antri untuk periksanya, untung petugasnya baik, begitu melihat kondisi Joko, mereka langsung mendahulukan, bahkan, periksa labolatoriumnya, juga ndak perlu waktu lama," pak Parimin, menceritakan pada pak Lurah, bagaimana kondisi puskesmas tadi pagi, satu hal yang tidak diketahui pak parimin adalah, cepatnya penanganan Joko, atas prakarsa pak Lurah, yang langsung mengutus orang suruhannya, untuk ke puskesmas dan diam-diam membantu agar Joko cepat ditangani. Mendengar cerita pak Parimin, pak Lurah hanya mengangguk anggukan kepalanya kecil, sambil berakting jika, dia benar-benar tidak mengetahui kondisi yang sebenarnya.
"Nah, karena itu, besok akan dilakukan pendataan dari kelurahan siapa saja yang terkena demam berdarah, dan akan dilakukan penyemprotan, untuk membunuh jentik nyamuk,"Ujar Pak lurah.
"Selamat sore pak,bu. Waktunya Joko diperiksa," terdengar suara seorang perawat wanita, dan dokter yang datang visite untuk memeriksa Joko. Kedatangan perawat dan dokter wanita yang memeriksa Joko, membuat tempat mereka bercengkerama menjadi semakin sempit, hingga mereka memutuskan untuk berdiri berjajar di pinggir ranjang Joko.
"Untung dik Joko, tidak terlambat ditangani, kalau terlambat, waduh bisa lain ceritanya," dokter wanita yang murah senyum itu, berkata sambil memeriksa tubuh Joko, di sampingnya perawat yang masih muda, dan manis, tersenyum sambil mencatat hasil pemeriksaan dokter wanita tadi.
Tak butuh waktu lama untuk memeriksa kondisi Joko, sebab, dalam waktu singkat terlihat dokter tersebut, sudah menuliskan resep untuk Joko. Dengan senyum yang masih mengembang, dokter tersebut, menyerahkan resep yang tadi ditulisnya pada pak Parimin, "Resep ini tolong ditebus di apotik ya pak, bu. Ada beberapa resep yang obatnya harus dibeli mandiri, dan tidak di biayai BPJS," wajah kedua orangutan Rembulan langsung berubah ketika mendengar penjelasan dokter tersebut.
"Berapa ya bu, kira-kira harga obatnya?" Tanya bu Saripah, dengan nada cemas.
"Maaf bu, saya kurang paham untuk harga obatnya, coba ibu langsung tanyakan ke apotik, ngih" Meski dokter tersebut menjawab dengan tetap bersikap ramah dan tersenyum, tapi, entah mengapa, jawaban tersebut terasa mampu membuat sesak nafas kedua orangtua Rembulan. Begitu dokter dan perawat itu berlalalu, keduanya saling memandang dengan wajah kebingungan, sementara resep yang ada di tangan pak Parimin, digenggam erat pak Parimin.
Rembulan menatap kedua orangtuanya, dengan tatapan bingung dan cemas. Dia tahu kesulitan kedua orangtuanya, namun, dia juga tak berdaya untuk membantu mereka. Airmata Rembulan hampir saja menetes, Pak Lurah, melihat kesedihan di wajah Rembulan, hatinya tergerak. Dengan, segera diajaknya pak Parimin dan bu Saripah keluar kamar dan mengajak mereka berdua berbincang secara personal.
Lorong rumah sakit terasa lenggang, hanya ada satu atau dua orang saja yang lewat di depan mereka. Mungkin, karena mereka sedang sibuk memeriksa pasien. Hari itu memang padat, pasien yang dirujuk ke rumah sakit tersebut. Terlihat pak Lurah, pak Parimin dan bu Saripah, berdiri di antara lorong tersebut, wajah ketiganya terlihat serius.
"Begini, maaf sebelumnya, tapi saya kok melihat ada sesuatu yang menjadi beban njenengan berdua ngih?" Perkataan pak Lurah, membuat kedua orangtua Rembulan saling berpandangan,keduanya terlihat kebingungan, berkata jujur atau berbohong pada pak Lurah, mereka benar-benar tidak ingin merepotkan orang lain, namun, disisi lain, mereka benar-benar membutuhkan bantuan keuangan.
"Saya tidak bermaksud mencampuri, tapi, apa Joko punya BPJS?" Tanya pak Lurah. kedua orangtua Rembulan menggeleng pelan, setelah itu keduanya menunduk. Pak Lurah langsung memahami kesulitan yang sedang dialami mereka.
"Saya paham, kalau saya membantu, apakah njenengan berdua akan setuju dan tidak merasa keberatan?" Tanya pak Lurah pada kedua orangtua Rembulan. Mendengar pertanyaan pak Lurah, kedua orangtua Rembulan, langsung mengangkat kepala mereka, dan memandang pak lurah dengan tatapan seolah tak percaya.
"Tapi, kalau kami kesulitan membayar hutang tersebut bagaimana, pak?" Bu Saripah yang sedari tadi hanya diam, kini bersuara.
"Monggo kalau mau dicicil juga boleh atau..." pak Lurah, tidak melanjutkan kalimatnya, sebab, dia benar-benar memahami bahkan untuk mencicil utang mereka nanti, kedua orangtua Rembulan pasti akan mengalami kesulitan, sebab, pak Lurah benar-benar tahu kondisi keuangan keduanya.
Pak Parimin dan bu Saripah,saling memandang, namun, kemudian terdengar pak Parimin mengajukan sebuah pertanyaan pada pak Lurah,"Atau apa ngih,pak?" Tanya pak Parimin karena penasaran.
"Hmm, atau njenengan berdua tidak usah bayar hutangnya, tapi, menikahkan Rembulan dengan saya," Bagai tersambar petir kedua orangtua Rembulan, mendengar perkataan pak Lurah, rasanya mereka tidak akan tega untuk melakukan hal seperti itu terhadap anak perempuan mereka. Apalagi keduanya tahu pasti, jika Rembulan memiliki cita-cita yang tinggi. Wajah keduanya tegang, tidak ada satupun kalimat yang keluar dari bibir mereka.
"Ngapunten,pak. Kami ndak bisa menjawab, sebab, kami berdua tahu,jika Bulan, memiliki cita-cita yang tinggi untuk masa depannya. Kami berdua tidak tega jika, harus menggadaikan cita-cita anak kami itu," Jawab pak Parimin, yang di iyakan oleh bu Saripah.
"Soal cita-cita Rembulan, saya siap untuk membiayai kuliahnya, biarkan dia menjadi permaisuri saya, dan sekaligus bisa meraih cita-citanya," Setengah memaksa pak Lurah meminta Rembulan pada kedua orangtuanya. Janji pak lurah membuat kedua orangtua Rembulan menjadi gamang. Mereka berdua tidak ingin menjual anak perempuan mereka, namun, disatu sisi, nyawa Joko juga dipertaruhkan.
"Bagaimana, ngih," jawab keduanya hampir bersamaan. Ada rasa berat terdengar dalam nada suara kedua orangtua Rembulan.
"Coba dipikir dulu, di rembug dengan Rembulan. Sementara itu, njenengan pegang uang ini dulu, sekedar untuk membeli obat dan biaya riwa riwi, nanti kalau kurang tinggal bilang ke saya," pak lurah mengeluarkan uang sebesar 1 juta rupiah, dan memberikannya pada pak Parimin. Terlihat rasa ragu di wajah pak Parimin, dia menatap kea rah istrinya, yang juga terlihat ragu, namun, dengan cepat pak lurah, meraih tangan pak Parimin dan meletakkan uang tersebut di telapak tangan pak Parimin.
"Jangan ditolak, ambil saja dahulu. Joko, butuh uang ini untuk berobat," Perintah pak Lurah, "Masalah pembayaran utang, nanti saja dipikir. Yang pasti saya, tetap pada niat baik saya, untuk menikahi Rembulan, sekarang, focus terlebih dahulu untuk kesembuhan Joko," Pak Lurah melanjutkan perkataannya, dan, karena perkataan itu, pak Parimin dan bu Saripah, berpikir ulang sebab, kata-kata pak Lurah ada benarnya.
Tangan pak Parimin, mengenggam erat lembaran uang kertas berwarna merah sejumlah 10 lembar itu, "Kami berjanji akan segera melunasi utang kami ini," janji pak Parimin pada pak Lurah. "Nanti kalau kurang, tinggal bilang ke saya ngih, " Perintah pak Lurah, kedua orangtua Rembulan mengangguk pelan, seolah merasa berat untuk menjawab.
***
Sore yang indah bagi pak Lurah, rasanya sebentar lagi, mimpinya akan menjadi nyata, dan sesaat lagi, dia akan memiliki Rembulan. Di satu sisi, kedua orangtua Rembulan bertekad untuk membayar dan mengembalikan uang yang dipinjamnya dari pak Lurah, agar, Rembulan bisa meraih cita-cita mulianya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Puisi Rembulan.
AcakSebuah novel bercerita tentang impian dan cita-cita seorang gadis remaja, yang akhirnya, harus mengorbankan impian dan cita-citanya untuk kebahagiaan keluarganya.