Penerimaan Yang Terpaksa.

2 0 0
                                    

Langkah kaki Gendis berhenti tepat di depan kelas, beberapa kali dia mengusap kedua matanya, begitu dia yakin pada apa yang dilihatnya, dia memutuskan untuk tidak melanjutkan ke kantin. Perutnya yang keroncongan karena belum sarapan pagi, terpaksa dia tahan dahulu. Sebab, dia mellihat sahabatnya Rembulan, duduk terdiam di kursi dalam kelas.

"Wah, pagi bener kamu datangnya? Tumben?" Tanya Gendis pada Rembulan, wajah Rembulan terlihat ditutupi oleh kedua tangannya. Dan, dia juga tidak menjawab pertanyaan Gendis.

"Bulan, kamu rapopo?" Nada suara Gendis langsung berubah menjadi khawatir, sebab, Rembulan sama sekali tidak merespon pertanyaannya.

"Bulan?" Kali ini, Gendis bertanya, sambil tangannya meraih tangan Rembulan yang ditutupkan di wajahnya. Kali ini, mau tidak mau Rembulan, terpaksa membuka kedua tangannya. Begitu dibuka, terllihat jelas, wajah Rembulan yang sembab dan matanya bengkak. Terlihat jelas, jika semalam Rembulan habis menangis. Melihat itu, Gendis sangat terkejut, diraihnya kedua tangan sahabatnya itu, diremasnya jari jemari Rembulan.

"Kamu kenapa? Ada yang terjadi?" Tanya Gendis dengan penuh rasa khawatir.

REmbulan mengusap kedua matanya, yang terlihat mulali digenangi airmata. GEndis melihat ke sekeliling kelas, dia takut, jika, ada beberapa teman sekelasnya yang memperhatikan Rembulan menangis. Untungnya, karena hari masih terlalu pagi, jadi di dalam kelas hanya ada 5 orang siswa saja, dan kelima nya terlihat sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing.

"Ndis, Aku..." Rembulan tidak bisa melanjutkan kalimatnya, suaranya lirih namun, terdengar parau.

"Iya, kenapa? Kamu kenapa?" Wajah Gendis benar-benar terlihat cemas, karena memang Rembulan, tidak pernah terlihat sekacau ini.

"Kemarin orang suruhan pak lurah ke rumah, nagih hutang emak dan bapak. Dan, karena kami tidak bisa membayarnya, kami diancam," Sambil bercerita, nafas Rembulan terdengar begitu berat, Gendis sendiri bisa memahami, jika, yang diceritakan oleh Rembulan adalah sebuah beban yang sangat berat baginya.

"Kalian diancam?" Gendis mengulang cerita Rembulan tentang ancaman terhadap keluarganya.

"Iya. Sebenarnya, emak dan bapak, diberi kelonggaran oleh pak Lurah, jika tidak bisa membayar hutang, ,maka, aku yang akan dijadikan istri pak Lurah," Sambung Rembulan, mendengar itu, KEdua mata Gendis terlihat melotot tak percaya. Tiba-tiba tangan Gendis memukul meja dengan keras, terlihat kemarahan di matanya, kemarahan Gendis, membuat teman-teman yang berada di dalam kelas menjadi terkejut dan melihat kearah mereka berdua, namun, situasi itu tidak berlangsung lama, sebab,Gendis berusaha menutupi dengan tertawa.

"Berarti, yang kemarin pak Lurah tiba-tiba ajak ke Solo, itu hanya sebuah akal licik. Brengsek! Buaya darat! Itu ndak bisa dibiarkan! Kamu dan orangtuamu harus lapor polisi!," Emosi Gendis terlihat tak tertahankan lagi.

"Kami ndak berani, sebab, yang kami hadapi orang besar, punya pangkat,"LIrih suara Rembulan. Kepalanya menggeleng pelan dan lemah. GEndis pun terdiam, dia menyadari, jika, pak Lurah adalah tokoh besar di tempatnya, relasinya yang banyak membuat posisinya kuat. Sementara itu, disatu sisi,kedua orangtua Rembulan sendiri, juga bekerja pada pak Lurah, jadi GEndis sendiri juga memahami situasi yang rumit itu.

"Aku paham, tapi, setidaknya kamu harus melawan. Masa, kamu mau mengorbankan cita-citamu, mana, impianmu tinggal sedikit lagi, akan terwujud. Dan, jangan lupakan soal cowok yang kamu sukai, apa kamu mau korbankan rasa mu untuk lelaki tua?" Rembulan mengangkat wajahnya yang sembab, dia terkejut mendengar perkataan Gendis tentang cowok yang disukai, darimana Gendis tahu tentang hal itu, padahal seingat Rembulan dia tidak pernah bercerita tentang rasanya.

GEndis menatap Rembulan lembut, dia paham jika, sahabatnya itu kebingungan,"Meski, kamu ndak pernah cerita, soal cowok yang kamu suka, tapi, aku tahu, ada seseorang yang kamu sukai," Gendis tersenyum lembut pada Rembulan. Sungguh, dia tidak habis pikir, sahabatnya ini, begitu tertutup tentang rasanya, seoalah, dia tidak pantas untuk memiliki rasa terhadap lawan jenis. Untungnya,sebagai sahabat Gendis, bisa merasakan dan memahami kondisi sahabatnya, jadi, meski Rembulan tidak bercerita apa-apa,dia bisa mengerti jika, ada sesuatu yang terjadi pada sahabatnya itu.

"Maturnuwun, sudah memahami aku, tapi, aku memilih diam dulu wae, mungkin mengalah adalah jalan yang paling baik," Suara Rembulan terdengar pasrah dan tak berdaya. Seolah sudah tidak ada lagi jalan keluar atas masalahnya.

"Kamu memilih mengorbankan hidup dan mimpimu?" Tanya Gendis dengan suara tidak percaya, dipandanginya Rembulan dengan tatapan mata tak percaya, dia bingung dengan sahabatnya ini, sebab baru kali ini, Rembulan terdengar menyerah sebelum berjuang, Tidak seperti Rembulan yang penuh perjuangan dan tidak pernah menyerah.

Rembulan tidak menjawab, dia hanya mengangguk pelan, kepalanya kembali menunduk, wajahnnya terlihat sendu. Kali ini, dia benar-benar bingung harus berbuat apa.

***

"Saya tidak akan, membiarkan Rembulan mengorbankan impiannya, saya janji, jika Rembulan mau menikah dengan saya, maka, dia akan tetap bisa melanjutkan mewujudkan mimpinya, saya benar-benar ingin menjadikan Rembulan ratu bagi saya, sekaligus menjadi wanita yang istimewa bagi warga sini," Pak Lurah berkata dengan suara yang meyakinkan, di hadapan Rembulan dan kedua orangtuanya, ketika sekali lagi berkunjung ke rumah Rembulan.

"Saya minta maaf atas kejadian kemarin saya benar-benar sudah putus asa, bagaimana caranya untuk bisa menikah dengan wanita yang saya cintai ini," Wajah pak Lurah terlihat memelas, kedua tangannya ditangkupkan di depan wajahnya, kakinya menekuk, penyesalan benar-benar terlihat di wajah pak Lurah.

"Cinta itu tidak memaksa pak, cinta itu harus datang dari ikhlasnya hati, cinta itu harus berani melepaskan," Lirih suara Rembulan menjawab pak Lurah.

"Tapi, saya ndak sanggup kehilangan kamu," ujar pak Lurah. Kedua orangtua Rembulan menatap pada pak Lurah, wajah keduanya terlihat begitu memelas.

"Bapak egois!" Jawab Rembulan sinis.

"Iya, saya memang egois, tapi itu karena cinta saya ke kamu begitu dalam," Jawab pak Lurah.

Rembulan menatap tajam pak Lurah, wajahnya memelas. Dia tidak menjawab lagi, bibirnya terkunci rapat.

"Piye, kamu mau to jadi istriku?" tanya pak lurah.

Rembulan diam, menatap tajam pada pak lurah, ada rasa benci di sudut matanya terhadap lelaki dihadapannya itu, namun, ketika dia menatap kedua orangtuanya, terlihat kesedihan dan beban di wajah kedua orangtuanya, melihat itu, hati Rembulan luluh, airmata menetes di sudut matanya, perlahan kepalanya menunduk,dan dia pun mengangguk pelan tanda setuju.

Melihat itu, wajah pak Lurah terlihat sumringah, dia begitu bahagia mengetahui jawaban Rembulan, lega! Hanya itu yang terselip di batin pak Lurah.

Puisi Rembulan.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang