Epilog

168 25 6
                                    

Merasakan bibir seseorang yang  menyentuh bibirnya menjauh Gio membuka mata. Melihat ke sekitar ia berada di danau. Namun, dengan suasana yang cukup berbeda karena dipenuhi dengan kabut.

Dari jarak yang cukup jauh ia melihat seseorang perempuan bergaun sutra putih berbordir emas membawa sebuah pedang. Sayap emasnya mengepak lebar dengan bibir yang tersenyum dan air mata yang membasahi pipi dengan garis emas memanjang. Gio terdiam, tampak mengenali perempuan bernetra hijau dengan surai silver tersebut.

Melihat sebuah portal di atas langit, tepat di atas kepala perempuan tadi Gio lantas semakin menajamkan penglihatannya. Saat ia tahu bahwa itu adalah Lavina yang siap pergi Gio lantas berlari sekencang mungkin ke arahnya.

"Lavi! Kau tidak bisa melakukan ini! Kau adalah takdirku, kau tidak bisa meninggalkanku!" teriak Gio saat Lavina mulai mengepakan sayap menuju portal yang terbuka.

"Maafkan aku, Gio. Mungkin, akulah yang egois. Namun, jika aku tetap berada di sini, semua orang bisa tiada. Kau bisa tiada dan aku tidak menginginkan hal itu terjadi," ucap Lavina terdengar oleh Gio.

"Tetapi Lavi—"

"Aku takdirmu, aku pasti akan kembali lagi kepadamu. Sampai jumpa di lain waktu, separuh jiwaku," lirih Lavina seraya meneteskan air mata, lalu portal pun tertutup bersamaan Lavina yang menghilang memasukinya.

Gio berlari seperti orang tak waras. Kemudian, ia terjatuh dan berlutut di ujung jembatan papan kayu, tepat saat bunga lotus dari dalam portal jatuh di air danau di depannya. Membuat air bergelombang tiada akhir, karena tiap air mata yang jatuh dari pelupuk mata Gio kembali membuat gelombang baru.

Tangan Gio mengepal, ia sangat marah dan kesal. Kemudian, dengan begitu bersedih, ia menatap langit yang mulai menurunkan hujan seraya berteriak sekencang mungkin.

***

Mendapatkan mimpi tak mengenakan seperti itu mata Gio membelalak dengan napas tersenggal. Martin dan Adelia yang sedang menunggunya di ruang ICU lantas tersenyum penuh haru.

Adelia bahkan langsung menggenggam erat tangan Gio. Air matanya tak tertahan. Setelah masa kritis, akhirnya Gio kembali tersadar.

"Gio ..." Martin mengusap kepala sang putra yang terbalut perban, membuat Gio terbangun dan segera melepaskan masker oksigen dari wajahnya.

Gio langsung terduduk tegap saat kembali mengingat kecelakaan yang menimpanya juga Lavina. Ia mengedarkan pandangan mencari separuh jiwanya.

"Ayah, di mana Lavi? Apa dia baik-baik saja? Dia ... dia terluka parah karena aku!" Gio terlihat begitu khawatir dengan air mata yang tak terbendung.

Martin tergugu bingung membuat Adelia menggenggam satu tangannya yang lain.

"Gio, kau baru saja pulih, setelah satu pekan tidak sadarkan diri." Ucapan Adelia membuat Gio tertegun tak percaya. "Kau sebaiknya beristirahat kembali. Jangan memikirkan—"

Gio langsung menepis tangan kedua orang tuanya. "Di mana Lavina?!"

Martin lantas menghela napas, membuat Adelia menggelengkan kepala. Dan Gio memperhatikan hal tersebut. Ia lantas langsung menggenggam erat kedua tangan ayahnya.

"Aku mohon, Ayah. Aku bisa gila, di mana Lavina?" tanya Gio. Ia begitu khawatir dan panik.

"Kau ... sungguh ingin tahu?" tanya Martin. Gio mengangguk sangat yakin. "Baiklah."

***

Lutut Gio rasanya begitu lemas, sampai ia pun tak kuasa untuk berdiri. Rasa sakit hati begitu menghajar perasaannya saat melihat nama Lavina terukir di atas sebuah batu nisan di pemakaman umum.

"I-ini ... ini tdak mungkin ...." Napas Gio rasanya sangat tercekat. Berulang kali ia memukuli dada yang terasa sangat sesak.

Martin lalu berusaha merangkul Gio. Namun, sang putra langsung menepis tangannya. Gio beringsut, meraba ukiran nama Lavina seraya menangis deras.

"Takdirku ... Lavi ..." lirih Gio seraya memeluk batu nisan tersebut dengan tubuh yang gemetar, karena menangis dan kemudian hujan pun turun deras.

***

Meskipun ia kini berada di barisan paling depan pasukan yang telah Esca siapkan—bala tentara bantuan dari khayangan—Lavina masih tetap meneteskan air mata. Ia merasakan apa yang Gio rasakan.

Hal itu membuat Esca menatap sang adik dengan cukup cemas. "Kau kuat, Lavi. Kau adalah adikku, harapan semua penghuni Negeri Anhfi, dan istri dari suamimu. Tegarlah, kau harus menang dan kembali kepadanya!"

Perkataan Esca membuat perempuan dengan pakaian tempur seorang dewi itu tersenyum. Lavina menghapus air mata, lalu menatap semua bala tentara yang sudah disiapkan. Mereka semua berada di sisi lain Kerajaan Fýsi, bersiap untuk menyerang.

"Kakak benar," jawab Lavina.

Kemudian, tak berselang lama sakakala pun ditiup. Esca dan Lavina lantas saling menoleh. Keduanya menghela napas panjang lalu mengangguk mantap.

Dengan segera, Lavina meraih busur dan anak panah yang telah disiapkan. Saat genderang perang ditabuh secepat kilat Lavina melesat terbang ke atas langit dan mengucapkan mantra seraya mengarhkan anak panahnya ke istana Kerajaan Fýsi. Tepatnya ke arah Corajus yang sedang berdiri di balkon istana.

"Sesuatu yang bukan hakmu, tidak akan pernah bisa menjadi milikmu! Inilah takdirmu dan takdirku."

Selesai

Terima kasih dan mohon maaf semuanya. Jangan lupa tinggalkan jejak dan follow akunnya, ok


Kalau tembus 200.000 views aku buatin season 2-nya ;)

See you ;)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 03, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PRINCESS LAVINA & THE FIRST HUMAN (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang