Maapken kalau masih banyak terdapat kesalahan dalam kisah ini. Selamat membaca semuanya :)
********************
Sudah tiga jam aku berada dijalanan, berputar-putar disepanjang daerah tempatku tadi menurunkan Ina, mengikuti jalur sekiranya bakal dia lewati. Puluhan kali turun dan bertanya pada orang-orang disekitar sana, sampai belasan kali dan mereka nyaris bosan melihat wajahku. Tapi aku nggak pantang menyerah.
Terakhir kuputuskan untuk menepikan mobilku lalu berjalan menyusuri sepanjang jalur perbatasan. Mengira-ngira jika aku jadi Ina tindakan apa yang bakal kuperbuat. Tapi mengingat itu justru membuat hatiku sakit sendiri.
Jutaan kali aku memaki diriku, mengutuki kebodohanku. Ini semua gara-gara emosi sesaat. Aku benci melihat Ina lebih memilih kak Argas, dendam merayapi hatiku seperti parasit, menggerogoti hati nuraniku dengan amarah. Seandainya saja aku bisa berpikir lebih jernih maka hal seperti ini takkan terjadi.
Bodoh!! Tolol!!! Tolol!!
Kebodohan abadiku lainnya adalah, pergi tanpa membawa dompet dan ponsel. Semuanya kutinggalkan saking terburu-burunya tadi. Mana ponsel Ina mati. Lengkap sudah.
Aku nggak bisa pulang dengan tangan kosong, meski bisa juga nggak bakal mau! Aku harus menemukan Ina apapun yang terjadi.
Langkahku terhenti karena kelelahan. Menyandarkan punggung pada sebatang pohong beringin besar seraya menghela nafas panjang. Untungnya jalur antar kota masih cukup ramai ditambah penerangan cukup. Kulirik jam tanganku. Damn!! Sudah lewat dini hari.
Kugaruk tengkukku yang nggak gatal. Keringat membuat badanku lengket dan basah, tapi persetan dengan semua ini! Ina sekarang pasti sedang dalam kesulitan. Tanpa dompet, ponsel, juga obatnya.
Dalam hati aku bertanya-tanya, sebenarnya Ina sakit apa?
Bagaimana kalau penyakitnya parah dan sekarang kambuh? Siapa yang menolongnya? Lebih parah lagi, bagaimana jika Ina diculik?! Lalu…lalu…
Arkhhh!!! Sialannnn Yahya!! Berhenti berpikir buruk itu nggakkan membantumu sama sekali dalam menemukan Ina.
Lututku gemetar, kaki melemas, aku merosot sambil bersandar pada batang cabang pohon seraya mengambil nafas pelan dan panjang. Kedua tanganku menangkup wajah. Lelah, frustasi.
Ini semua salahku, semua salahku, semua salahku.
Dadaku seperti terbakar, perih sekali.
Bayangan wajah cantik Ina berkelebat dikepalaku. Teringat senyuman manisnya juga ekspresi gembiranya ketika dia bermain piano sambil bernyanyi tempo hari dirumahku. Ya Tuhan, apa salahnya sampai aku berbuat sebodoh ini.
Tolol!! Tolol!!! Aku manusia paling tolol didunia!!!!
Betapa bodohnya kamu Yahya. Ambisimu telah mengacaukan segalanya. Padahal awalnya aku melakukan ini karena ingin memberinya sedikit pelajaran. Aku tertawa diantara sedih, semua ini adalah karma untukku.
Bunyi sirene polisi bergaung ditelingaku, mereka sepertinya melintas didepanku. Kemudian, sesuatu muncul di otakku.
Mataku membuka, mendadakt tubuhku melompat berdiri.
Bodoh!! Kenapa nggak terpikir dari tadi! Astagaaa Yahya.
Tubuhku berputar, kaki seolah digerakkan sendiri, aku berlari secepat kubisa berbalik menuju mobilku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lamarlah Daku, Kau Kutangkap
Romance" Emang sih si Yahya mapan, tamvan, tapi Emakkkk...Bunuh Ina aja deh kalausampe beneran dijodohin sama lelaki sotoy macam begituu. Yang ada hidup Ina tiap hari tersiksa jiwa raga, rohani jasmani kalau beneran kawin sama tuh orang!" - Ina , Indonesi...