Kaizel And Hesitation

76.7K 10K 406
                                    

Esok harinya Bell sarapan seperti biasa. Namun Kaizel tidak ada di sana. Sejak percakapan panjang lebar di ruang kerja Kaizel kemarin, Bell belum bertemu pria itu lagi. Padahal biasanya saat makan Kaizel tidak pernah absen.

"Kenapa, Bell? Kamu tidak makan?" Delein bertanya ketika Bell tidak berhenti menatap kursi kosong yang biasanya Kaizel tempati. "Ayah sibuk, kamu tidak perlu menunggunya." Meski Del bilang begitu, Bell tahu Kaizel menghindarinya. "Setelah ini kamu mau main apa?"

Bell menggeleng sedih. Dia tidak ingin main apapun. Dia hanya ingin Kaizel makan bersama mereka.

Padahal biasanya Bell selalu berbinar-binar saat di meja makan, nyaris meneteskan air liur melihat meja dipenuhi makanan. Tapi sekarang dia bahkan tidak melirik menu yang disajikan kusus untuknya sesuai saran dokter. Delein jadi kesal. Bell masih dalam masa pemulihan. Perut mininya belum mampu mencerna makanan berat, tapi kalau tidak mau makan, kapan pipinya akan mengembang seperti balon?

Delein berpindah tempat, duduk di sisi Bell yang lain. "Kamu tidak suka makanannya? Mau ku suapi?" Bell belum menjawab tapi Delein sudah membawa sesendok nasi lunak di depan mulut Bell. "Permen yang kuberikan tidak gratis. Kamu harus membayarku dengan cara menebalkan pipimu."

Demian awalnya mengabaikan mereka, tapi melihat betapa pedulinya Delein terhadap bocah itu dia pun berdeham. "Del, jangan paksa Nona. Habiskan dulu makananmu."

"Kenapa kamu mengaturku? Terserah aku mau menghabiskannya atau tidak!"

"Aku lebih tua. Aku berhak melakukannya. Dan lagi, kalau kamu bolos kelas matematika lagi aku benar-benar akan mengadukannya ke Ayah."

"Pengecut! Itu semua bukan urusanmu!"

"Salahmu sendiri karena sering bolos akhir-akhir ini."

"Itu...," Delein mencari-cari alasan, "itu karena Bell kesepian! Ayah pasti tidak mau dia kesepian!"

"Ayah? Ayah siapa maksudmu?" Demian mengernyit tak senang. Delein menyebut 'Ayah' seolah Kaizel juga merupakan ayah dari bocah itu.

Bell menatap mereka bergantian merasa bersalah. Dua putra Devinter itu bertengkar gara-gara dirinya. Padahal biasanya mereka tetap akur meskipun berbeda pendapat.

Delein tersadar Bell ada di tengah adu mulut mereka, lantas dia pun mengabaikan pertanyaan Demian. "Bell, apa kamu tahu lego?"

Bell menggeleng tapi raut mukanya sedikit menunjukkan minat.

"Aku dulu suka main itu. Kamu bisa membuat rumahmu sendiri seperti istana, benteng, atau menara tinggi." Seolah terhipnotis, perhatian Bell berhasil teralihkan. "Setelah ini apa kamu mau main lego denganku?"

"Ya!" sahut Bell spontan karena terlalu antusias.

"Kamu boleh main lego sepuasnya tapi habiskan makananmu."

Bell mengangguk patuh dan segera melahap makanannya.

Demian menoleh. "Ternyata Nona kecil bisa bicara, ya?" tanyanya sopan.

"Tentu saja Bell bisa!" seru Delein bangga.

Putra kedua Devinter itu tersenyum lalu melanjutkan makannya. "Sudah saya duga." Dia menipu orang-orang sebagai anak bisu.

"Jadi kamu sudah tahu kalau Bell bisa bicara?" Delein bertanya.

"Ya. Nona kelihatan 'sangat baik-baik saja' saat datang kemari." Demian menekankan kata 'sangat baik-baik saja' sembari mengelap bibirnya dengan tissu.

Delein mengernyit tak setuju. "Apa maksudmu? Bell sangat kurus waktu itu."

"Del, kamu masih belum mengerti, ya? Anak mana yang terlihat baik-baik saja saat dia baru saja kehilangan orang tuanya?" Demian mendorong piringnya menjauh lalu tersenyum lebar pada Bell. "Lupakan saja percakapan kita hari ini, Nona." Setelah itu Demian pergi meninggalkan mereka.

"Dia kenapa, sih? Biarkan saja, Bell. Anak itu memang aneh."

Bell diam mencerna ucapan Demian. Dia bilang Bell tampak sangat baik-baik saja, tapi setelah itu mengatakan bahwa anak yang baru kehilangan orang tuanya tidak mungkin baik-baik saja. Jadi begitu,

Demian membencinya.

♦♦♦

"Apa anak itu makan dengan baik?" Kaizel bertanya tanpa menghentikan pull up-nya pada sebuah besi panjang. Otot-ototnya mengeras tiap kali dia mengangkat tubuhnya.

"Kata pelayan Nona kecil terus melihat ke kursi Anda, Tuan Direktur."

Kaizel tidak memberi tanggapan apa-apa. Mungkin si pelayan hanya kebetulan mendapati anak itu sedang melihat ke arah kursinya.

Kaizel turun, menerima handuk kecil dari Lewis lantas menyeka keringat di wajah dan lehernya. "Lewis, siapkan berkas ke panti asuhan lagi."

"Maaf?"

Kaizel duduk dan menenggak sebotol air mineral hingga tandas. Kaizel tidak mau mengulangi ucapannya karena dia yakin orang tua itu sudah paham. Terbukti dari ekspresi terkejutnya sekarang.

"Tuan Direktur, bolehkah saya bilang kalau Anda gila?!"

"Karena kamu sudah tua, aku memaafkan kelancanganmu."

Lewis Han segera memutar otak mencari-cari alasan. "T-tuan, berkas waktu itu sudah saya bakar. Butuh waktu lama untuk menyelesaikan yang baru. Mungkin 5 sampai 10 tahun."

Kaizel tahu Lewis hanya bercanda. "Terserah. Yang penting kamu urus secepatnya."

Tidak bisa begini! Apapun yang terjadi Lewis Han harus mencegah Kaizel menyerahkan Nona kecil ke panti asuhan. "Tuan, hari ini saya memutuskan pensiun!"

"Omong kosong. Kembalilah bekerja sebelum hidupmu yang kubuat pensiun."

"Tuan Direktur, saya mohon pikirkan itu kembali."

Kaizel memandang orang tua itu tanpa ekspresi. "Lewis Han, kamu tau siapa aku?"

Hah, lagi-lagi..., Lewis tahu kemana arah pembicaraan ini. "Anda kepala keluarga sekaligus Direktur Devinter saat ini, Tuan."

Kaizel mengenakan mantelnya dan memandang ke luar jendela. Di luar sana, bayangan seorang gadis cantik berambut emas tengah tersenyum cerah dan melambai ke arahnya. Kemudian Kaizel bertanya dengan nada yang sangat rendah. "Lalu, berapa kali kamu melihat orang-orangku mati di tangan musuhku?"

Lambang Devinter adalah smilodon, binatang purba bertaring pedang yang diartikan sebagai puncak predator. Itu dianalogikan sebagai Kaizel saat ini. Seorang tirani bengis yang memimpin dengan kejam. Berkuasa dan bisa melakukan apa saja sesuai kehendaknya. Namun, bagai senjata bumerang. Kaizel yang menduduki posisi tertinggi, justru memiliki musuh dimana-mana.

Lewis Han tertampar dengan kenyataan itu. Kaizel ingin menyerahkan Nona kecil ke panti asuhan bukan tanpa alasan. Dia hanya tidak mau kejadian lama terulang kembali. "Maaf, Tuan Direktur. Saya akan segera menyelesaikan berkas-berkasnya." Kaizel tidak mengalihkan pandangan dari jendela saat Lewis meninggalkannya.

Awan mendung di atas sana mulai menurunkan rintik-rintik air dan memantul ke kaca. Hujan kian deras hingga pandangan Kaizel menjadi terbatas. Tapi bukan itu yang Kaizel pikirkan sekarang.

Saat para pelayan mengatakan jika anak itu mirip dengannya, Kaizel sempat berpikir untuk melakukan tes DNA. Tapi sekarang Kaizel tidak memerlukan itu lagi. Siapapun dan darimana gadis itu berasal, Kaizel sudah tidak peduli. Bell harus tinggal di tempat yang jauh dari bahaya.

Terlepas dari alasan itu, ada satu hal yang tidak mau Kaizel akui. Dia takut melakukan tes DNA. Karena seandainya hasil dari tes DNA menyatakan bahwa anak itu memang putrinya, Kaizel akan semakin berat untuk melepasnya ke panti asuhan.

"Dia bilang sendiri tidak butuh orang tua. Panti asuhan adalah tempat yang tepat."


Be My Daughter? (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang