Swastamita menghalau sinar mentari sore yang agak menyilaukan matanya dari arah barat. merasa pegal, ia kemudian memundurkan langkah dan bersandar pada pilar gedung yang besarnya tiga kali ukuran badannya. Sinar matahari tak lagi mengenai wajahnya. Ia tolehkan kepala ke samping kanan dan kiri, mencari seseorang yang memiliki janji temu dengannya.
Tidak, orang itu belum muncul. Hanya ada taksi yang hilir mudik menurunkan penumpang di drop zone, dua orang satpam yang berdiri di pintu masuk dan pengunjung yang keluar masuk gedung raksasa tujuh lantai tersebut. Swastamita memandang jam tangan bertali kulit di pergelangan tangan kirinya. Waktu menunjukkan pukul 17. 19, sepuluh menit berlalu dan orang yang ditunggu tak kunjung muncul.
Sungguh, kakinya yang terbalut dengan heels berwarna khaki setinggi lima senti meter mulai terasa pegal. Pergelangannya mungkin agak kaku dan sedikit sulit digerakkan karena terlalu lama dipakai berdiri. Berbulan-bulan absen menggunakan sepatu hak tinggi, rupanya cukup membuatnya kewalahan ketika rutinitas mengharuskannya selalu tampil rapi dengan hak tinggi. Swastamita memutuskan untuk menunggu di dalam, mencari tempat duduk daripada terus berdiri di sini dan membuat tumitnya memerah. Ia bersumpah begitu mendapatkan tempat duduk, akan ia lepas sepatu laknat ini untuk beberapa saat.
Baru mengeluarkan ponsel untuk memberi kabar, suara langkah tergesa dari arah kanan membuat Swastamita menoleh. Segara dengan setelah jas dan celana kerja berwarna navy berjalan cepat ke arahnya. Dengan dalam kaos putih polos membuat tampilan tersebut terlihat sedikit lebih santai. Rambutnya yang terlihat lembut berayun-ayun seiring dengan langkah kaki. Senyum lebar tersungging di bibir laki-laki itu. Gara mengangkat tangan kanannya ke arah Swastamita. Membuat Swastamita ikut tersenyum dan balas melambaikan tangan.
"Hai," sapa Gara saat ia berhasil berdiri di depan Swastamita. Napasnya memburu, dan wajahnya sedikit memerah, juga bintik-bintik keringat yang samar di dahinya yang sebagian tertutupi poni.
"Hai juga," balas Swastamita. Untuk mengurai gugup, tanpa sadar jemarinya memainkan tali sling bag di bahu kanan.
"Maaf ya, nunggu lama."
"It's ok."
Sepertinya Swastamita sudah lupa bahwa beberapa saat lalu kakinya mengeluh pegal dan kesakitan.
"Shall we talk over a cup coffe?" tawar Gara.
Swastamita menelengkan kepalanya. "Sure."
Laki-laki yang selalu nampak segar itu mempersilakan Swastamita melangkah lebih dulu, baru menyejajarinya setelah keduanya sudah berada di dalam mal. Aroma musk menguar dari Gara yang berjalan di dekatnya. Cukup dekat namun juga cukup jauh untuk membiarkan lengan keduanya bersentuhan. Swastamita diam-diam melirik pada tangan Gara yang saling terkait di depan perut. Gerakan asal jari jemarinya yang seling tertaut membuat Swastamita tersenyum. Semua tentang Gara terlihat menarik dan sempurna.
"Anyway, kamu tadi dari rumah, Mita?"
Sejujurnya ia sempat tergeragap mendengar pertanyaan Gara yang tiba-tiba. Ditambah lagi matanya sedang tertuju ke arah bawah sana. Ia berdeham dan mengangakat kepala untuk bertemu dengan tatapan lembut Gara. Dari jarak yang tak begitu jauh ini, ia dapat melihat bulu mata Gara yang lentik berkedip beberapa kali.
Gara menoleh ke depan kembali untuk memperhatikan jalanan yang cukup ramai dengan pengunjung. Pusat perbelanjaan ini memang cukup terkenal, apalagi di Sabtu sore begini. Jumlah pengunjung tentu saja meningkat. Swastamita kemudian menjawab, "Iya. Kalau kamu sendiri? Ada urusan apa sebelum ke sini?"
"Oh itu, saya habis anter kakak saya ketemu temannya di deket sini. Eh malah mobil saya ditahan sama dia, makanya saya tadi agak telat ke sini karena saya harus jalan kaki dari tempat kakak saya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenapa Bahagia Begitu Mudah?
General Fiction"Gara, boleh aku tanya? Kenapa sih orang-orang mudah banget senyum, ketawa, bercanda, berbagi, menangis? Kenapa sih? Sedangkan aku, bahkan untuk mengeluh saja rasanya aku nggak pantas, apalagi bahagia." "Mita, jangan pernah berpikir kamu nggak panta...