Swastamita dengan bibirnya yang membentuk garis lurus menutup gerbang di depannya kemudian melambaikan tangan pada seseorang yang ada di dalam mobil yang berada di pinggir jalan di depan rumah. Lelaki dengan rambut pendek berpotongan curtain itu balas melambaikan tangan kemudian memberikan tanda kepada Swastamita untuk segera masuk rumah.
Swastamita balas menggerakkan tangannya meminta Gara segera pergi. Namun Gara menolak. Ia menggerakkan bibirnya tanpa suara. Swastamita sampai harus memincingkan mata untuk mengetahui apa maksud gerakan bibir Gara yang mengujarkan, "Saya pulang kalau kamu sudah masuk rumah."
Mengetahui arti gerakan bibir tersebut, Swastamita menggaruk tengkuknya yang lembap. Setelah menganggukkan kepala, cepat-cepat ia melangkah menuju pintu dan masuk ke dalam rumah. Sesaat setelah ia menutup pintu rumahnya dari dalam, suara mobil yang berjalan pergi terdengar. Ia mengintip dari celah gorden dan melihat mobil hitam Gara yang perlahan-lahan meninggalakan jalanan depan rumahnya.
"Mbak?"
Ia tergeragap mendengar suara dan mendapat tepukan di bahunya tiba-tiba. Ketika menoleh, ia temukan Bintar dengan kaos tanpa lengannya menatap aneh pada Swastamita. "Kok lo kuyup gitu sih?" tanya Bintar memperhatikan penampakan Swastamita yang seperti kucing baru terkena hujan. Ya nyatanya ia memang baru saja terkena hujan.
"Ah, ini," dengan kikuk Swastamita menyentuh rambutnya yang lembab.
Belum sempat melanjutkan perkataan, Kusuma menampakkan diri dari dalam rumah. Keningnya mengerut melihat penampilan Swastamita. "Kamu kehujanan?" tanyanya lembut.
Sejujurnya Swastamita masih begitu gugup mendapat perlakuan lembut dari ibunya. Tapi toh ia tetap menjawab dengan sama lembutnya, "Iya, Ma." Rasa asing yang menghangatkan hatinya.
"Ya udah, sana cepet mandi. Nanti sakit lagi kalau lama-lama di depan pintu begitu."
"Iya, Ma. Aku ke atas dulu."
Dengan langkahnya yang tergesa Swastamita menaiki tangga. Bintar mengikuti di belakangnya dan dengan cerewet menginterogasi Swastamita. "Lo dari mana sih, Mbak? Sama siapa? Mas Langit bilang dia udah balik dari jam tujuh tadi lho. Ini udah hampir jam sepuluh. Lo dari mana aja sih?"
Tepat saat Bintar mengakhiri pertanyaan panjangnya, mereka sampai di depan pintu kamar Swastamita yang tertutup. Menghadap pada pintu kayu di depannya, Swastamita memejamkan mata dan menghela napasnya kasar. Satu detik selanjutnya, ia membuka mata dan berbalik pada Bintar. "Tolong. Jangan berlebihan. Gue emang sakit tapi gue bukan orang gila atau orang yang bisa lo anggap lemah dan harus lo kawal ke mana-mana, yang harus lo awasi ke mana pun gue pergi. Tolong, Tar, gue nggak mau jadi sebel sama lo. Dan ya gue bebas mau ketemu dengan siapapun, di mana pun, dan melakukan apapun. So, stop being like this." Ia kembali berbalik dan bersiap membuka pintu kamar ketika Bintar menaikkan oktaf suaranya.
"Jangan bilang lo ketemuan sama Mas Dika?!"
Mendengar nama itu membuat Swastamita mematung. Gerakan yang membuat Bintar menyimpulkan jawaban atas pertanyaannya sendiri. Baru ia menarik napas untuk mulai menasehati sang kakak, Swastamita keburu memutar kenop pintu, masuk, dan menutupnya dengan sedikit bantingan.
Swastamita di balik pintu menyandarkan diri pada pintu di belakangnya. Kedua telapak tangannya menutupi wajah. Terdengar deru napas yang cepat. Mendengar nama Senandika disebut membuat Swastamita mengingat kembali masa lalunya yang indah juga pahit bersama lelaki tersebut. Kemudian ingatannya tertuju pada Segara. Pada laki-laki yang memenuhi kepalanya tiga bulan terakhir, pada laki-laki yang menyelamatkan hidupnya, pada laki-laki yang baru ia temui lagi setelah sekian lama.
Lalu, pertanyaan gila muncul di kepalanya, bagaimana kalau semuanya berakhir seperti ia dan Senandika?
"Hatchi!" pikiran ngawur-nya terinterupsi oleh rasa gatal pada hidung. Mendadak merasa kedinginan, Swastamita sadar dengan kondisi tubunya yang masih setengah basah. Cepat-cepat ia meletakkan tas ke atas ranjang kemudian bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Mengguyur kepalanya dengan air hangat berharap semua pikiran tentang Senandika meleleh dan berakhir bersama buih-buih sabun pada saluran pembuangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenapa Bahagia Begitu Mudah?
Fiksi Umum"Gara, boleh aku tanya? Kenapa sih orang-orang mudah banget senyum, ketawa, bercanda, berbagi, menangis? Kenapa sih? Sedangkan aku, bahkan untuk mengeluh saja rasanya aku nggak pantas, apalagi bahagia." "Mita, jangan pernah berpikir kamu nggak panta...