15. Mengurai dan Merajut

294 79 9
                                    

Swastamita berjalan cepat, menyelinap di antara orang-orang yang memenuhi trotoar. Dari dua bibirnya yang tipis meluncur kata makian melihat jarum panjang arlojinya menunjuk angka sepuluh. Tiga puluh menit lebih sudah ia terlambat. Semoga saja ayahnya masih bersedia menunggunya di tempat janjian. Ini adalah momen yang langka. Meski hidup bersama selama dua puluh tahun lebih lamanya, saat-saat makan malam berdua saja apalagi di luar rumah adalah hal yang bisa Swastamita hitung dengan jari. Meski hanya ayah yang ia miliki di dunia ini, hubungan mereka tidak seakrab itu.

Ia mengela napas lega begitu sampai di kedai makan tempat janjinya dengan ayah. Sebelum masuk, Swastamita mematut dirinya di depan jendela. Menyisir rambut panjangnya yang awut-awutan dengan jari pun juga menambahkan lapisan pewarna bibir berwarna merah muda, dan menyemprotkan parfum beraroma vanilla yang semerbak mewangi. Ia abaikan tatapan-tatapan dari mata-mata yang melewatinya.

Siap dengan penampilan yang menurutnya paripurna, Swastamita mendorong pintu kaca dan mencari keberadaan sang ayah. Sebuah helaan napas lega keluar saat menemukan ayahnya duduk di dekat dinding kayu menunduk sambil memainkan ponsel. Di meja hanya ada satu gelas tinggi berisi minuman. Ia tersenyum lega. Melirik sekali lagi pantulan dirinya yang samar-samar pada kaca di sebelah kanan, Swastamita kembali menghela napas. Ia tidak mau tampil di hadapan ayahnya dengan penampilan yang buruk. Ia ingin terlihat sehat dan baik-baik saja. Karena dengan hal itu, ayahnya tak akan lagi memaksa Swastamita kembali ke rumah.

"Pa," sapanya dengan suara lembut.

Mendengar sapaan itu membuat Estu mengangkat kepalanya. Senyum yang memunculkan kerutan di beberapa sisi wajahnya menyapa Swastamita.

"Maaf ya, telat. Beberesnya lebih lama dari biasanya. Papa udah pesan?"

Estu menggeleng. "Papa nunggu kamu."

Yang selanjutnya terjadi adalah keduanya berbicara pada pelayan, memesan makanan dan minuman untuk Swastamita. Baru setelah itu bertukar suara.

"Gimana kerja di sana? Capek enggak?"

Swastaita tersenyum. "Capek pastilah. Tapi kerjaannya lebih rileks daripada waktu di hotel dulu."

Estu mengangguk paham.

"Papa gimana? Lututnya masih sering nyeri?"

Sebuah tawa terdengar begitu renyah dari pria yang rambutnya mulai memutih di hadapan Swastamita. "Ya namanya udah tua. Papa baik-baik aja kok. Kamu sendiri gimana? Baik-baik aja kan?"

Jangan bosan, rapalnya dalam hati. Sesungguhnya Swastamita benci nada bertanya itu, rangkaian kata itu, dan tatapan penuh simpati itu. Siapa saja orangnya yang mengetahui history Swastamita selama beberapa bulan terakhir selalu memandangnya dengan tatapan yang tak ia suka, selalu menanyakan apakah ia baik-baik saja. Tidakkah mereka sadar kata-kata itulah yang membuatnya semakin tidak beranjak? Seolah-olah ia ini adalah hal paling rapuh di dunia yang tidak memiliki kekuatan.

Hanya ada satu orang yang tidak pernah menganggapnya lemah, yang kehadirannya tidak membuat Swatsamita merasa diawasi, yang tatapannya tidak membuat ia risi.

Ketika bayangan laki-laki dengan rambut hitam dan bulu matanya yang lentik menyapa ingatan, segera Swastamita menggelengkan kepala. Beruntung, makanan mereka segera datang, sehingga Estu tidak menyadari gerak-geriknya yang tak biasa.

Baru mencicipi satu sendok kuah sop buntut pesanannya, ponsel di dalam saku blazer berdering. Meletakkan sendok kembali ke mangkuk, Swastamita merogoh saku blazer-nya. Tubuhnya terpaku membaca nama yang tertera di layar ponsel.

"Siapa, Ta?" ayahnya bertanya.

Pertanyaan itu membuat Swastamita berjengit terkejut. Ia geser ikon telepon berwarna merah, mengecilkan volume nada dering, dan memasukkan ponsel ke dalam tas. "Ah, bukan siapa-siapa kok, Pa."

Kenapa Bahagia Begitu Mudah?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang