8. Memori

349 84 8
                                    

Awal tahun 2007. Jakarta.

Swastamita memandang mobil sedan yang kian berlalu sampai tidak lagi tertangkap oleh netra. Ia hanya bisa menghela napas panjang. Sudah hampir satu tahun berlalu namun obrolan mereka hanya berputar pada, "Sudah makan?", "Cepat tidur.", yang seperti itu. Sebuah obrolan yang tidak bisa mengindikasikan bahwa mereka adalah sepasang ibu dan anak.

Pagi tadi harap Swastamita sempat melambung. Sesaat setelah mengantar ayah yang hendak bertemu kawan karib di Bogor, Kusuma menemui Swastamita yang masih sibuk dengan menu sarapannya. "Kamu ikut Mama ya hari ini."

Entah ke mana ia akan diajak. Swastamita yang bersenang hati hanya menganggukkan kepala santai namun dalam hati bergejolak kegirangan. Tepat pukul sebelas siang, Swastamita bersama dengan ibunya berangkat dari rumah.

Pertama kali pergi berdua saja dengan ibu membuat Swastamita yang duduk di bangku penumpang sebelah kemudi mobil sedan keluaran Honda menahan senyum. Ketika tak bisa lagi menyembunyikannya, Swastamita akan menoleh ke luar jendela dan tersenyum selebar mungkin.

Tujuan mereka adalah sebuah toko peralatan olahraga. Kelak yang Swastamita tahu adalah hari itu ibu tidak ingin menghabiskan waktu dengan Swastamita. Ibu hanya ingin Swastamita membantunya. Membantu memilihkan barang kesukaan Bintar, membantu membawakan barang belanjaan. Karena yang selanjutnya yang ia ketahui, sepatu olahraga serta bola basket yang dibeli Kusuma siang itu adalah hadiah ulang tahun untuk Bintar. Ia baru tahu jika adik semata wayangnya begitu menyukai basket. Hari itu bahkan Kusuma tidak menawari Swastamita barang apa yang ingin dibelinya. Bahkan jika hanya satu gelas minuman yang bisa Kusuma beri padanya, Swastamita tak akan protes. Karena hampir satu tahun memanggilnya Mama, belum sekalipun Swastamita menyimpan barang pemberian Kusuma. Karena memang ia tidak pernah menerimanya.

Lima belas menit perjalanan dari toko olahraga ke rumah, ponsel milik Kusuma berdering nyaring. Sambil menyetir, Kusuma meminta Swastamita untuk mengangkat telelpon dan mengubahnya ke mode loudspeaker. Sungguh, Swastamita senang rasanya bisa berguna bagi ibunya. Sesepele apapun itu.

"Ada apa ya, Bu Mira? Maaf saya lagi nyetir."

Suara lembut di seberang sana menyahut, "Waduh, Bu Kusuma, maaf kalau mengganggu. Tapi boleh tolong menepi sebentar, Bu?"

Swastamita mengerutkan kening, pun juga dengan Kusuma. Menepi secepat mungkin yang ia bisa, Kusuma segera merebut ponsel dari genggaman Swastamita. Tidak kasar namun cukup membuat Swastamita tersentak. Ia bisa melihat perubahan emosi yang dipancarkan mata ibunya. Membuat Swastamita meremas kedua telapak tangannya takut-takut. Apakah sesuatu yang buruk terjadi?

Tak sampai tiga menit perbincangan bertahan, ibunya kembali melajukan kendaraan tanpa sepatah kata pun terucap.

"Kena—"

Ucapannya segera terhenti saat rem diinjak tiba-tiba. Kalau saja Swastamita tak taat aturan, mungkin sudah membentur dashboard dahinya. "Keluar, Ta."

"Ya?"

"Mama bilang keluar. Kamu pulang pakai bus."

"Ta—"

Kembali lagi ucapannya terhenti melihat keruhnya pandangan sang ibu. Swastamita meraih ransel kecilnya dari jok belakang, melepas sabuk pengaman, dan menuruti perintah sang ibu. Keluar dari mobil. Tak sampai sekian detik, mobil sedan tersebut kembali melaju.

Tahun 2007, fasilitas transportasi Jakarta masih begitu apa adanya. Bermodalkan uang tidak seberapa yang ada di kantong celana, untuk pertama kalinya Swastamita menaiki metro mini.

Ini bukan pertama kalinya ia ditinggalkan. Namun ini adalah pertama kalinya ia merasa begitu tidak diinginkan.

Kemudian yang ia tahu, hari ini, ternyata Bintar mengalami kecelakaan. Sepeda yang ia kendarai ditabrak oleh pengguna sepeda motor. Tidak begitu parah namun lengan kanan Bintar mengalami keretakan. Tapi bagi seorang ibu, melihat lecet di lutut anaknya saja sudah kelimpungan. Apalagi mendengar kabar, "Anak ibu ditabrak sepeda motor, sekarang lagi dibawa ke klinik."

Kenapa Bahagia Begitu Mudah?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang