Bau karbol menyengat yang khas langsung terhidu oleh Kusuma sesaat setelah ia memasuki area IGD rumah sakit. Lima puluh tahun sudah ia hidup di dunia ini, dan Kusuma tak pernah sekalipun menyukai aroma ini. Aroma yang sarat akan kehilangan yang selalu ia rasakan tiap bertemu dan menghidu bau rumah sakit. Dua puluh enam tahun lalu ia hampir kehilangan seorang buah hati dan bahkan nyawanya sendiri beberapa saat setelah melahirkan. Namun Tuhan masih meginginkan ia dan Bintar ada di dunia yang fana ini. Dua puluh tahun lalu, Kusuma kehilangan seorang suami akibat kecelakaan tragis. Dua belas tahun lalu, ia kehilangan sosok ayah di tempat semacam ini. Tujuh tahun lalu tempat ini kembali menjadi saksi kepergian ibunya. Dan hari ini, akankah Kusuma merasakan kehilangan yang lain lagi?
Dengan seluruh tubuh yang gemetaran, ia mendatangi Bintar dan suaminya yang berada di kursi tunggu di depan ruang IGD. Sebenarnya apa yang terjadi? tanyanya dalam hati.
"Mita kenapa?" Adalah kalimat pertama yang keluar dari bibir seorang Kusuma.
Raut masam Estu, suaminya, langsung timbul. Mata tua yang dikelilingi kerutan itu memandangnya tajam. Bahkan sebuah jari telunjuk segera Estu acungkan ke hadapan Kusuma. "Puas kamu?"
"Mas."
"Seneng karena akhirnya anak saya masuk rumas sakit?"
"Mas, bu--"
"Ma! Pa! Stop bisa nggak sih? Mama sama Papa masih mau berantem di sini setelah apa yang terjadi sama Mbak Mita? Ini overdosis for God's sake. Kak Mita hampir aja ngebunuh dirinya sendiri dan Papa sama Mama masih mau berdebat siapa yang seneng, siapa yang sedih, siapa yang salah?"
Tangan Kusuma makin gemetar mendengarkan ujaran anak lelakinya. Dengan mata berkaca-kaca Kusuma berbalik dan berlari keluar dari IGD.
Diselimuti kelamnya langit Jakarta dan dinginnya angin malam, Kusuma menangis dalam diam. Puas kamu? Senang karena akhirnya anak saya masuk rumah sakit? Kak Mita hampir aja ngebunuh dirinya sendiri.
Kakinya yang ringkih tak dapat lagi menahan berat beban tubuh. Berjongkok dengan sebelah tangan meremas kerah kemeja dan jaket yang ia kenakan dengan sebelah yang lain membungkam mulut agar isaknya tak terdengar. Perempuan paruh baya itu mengingat kembali kata-kata yang ia ucapkan pada Swastamita beberapa hari sebelumnya.
***
Hari ketujuh di bulan Maret tahun 2006. Swastamita muda duduk di kursi paling depan juga paling ujung di jajaran kursi yang ditata untuk sebuah upacara pernikahan. Ia mendengarkan suara lantang ayahnya yang mengucapkan sebaris nama perempuan asing dengan senyum bahagia yang berusaha ia sembunyikan.
Swastamita bahagia bukan karena ayahnya kembali menemukan tambatan hati, orang yang akan menamani sampai maut menghampiri. Namun Swastamita bahagia karena kini, akhirnya ia memiliki seorang ibu.
Ibu yang akan membelainya dangan kasih dan sayang. Ibu yang akan memeluknya dengan erat. Dan ibu yang akan selalu ia jadikan panutan. Sesuatu yang sangat-sangat Swastamita rindukan dan selama sepuluh tahun terakhir hilang dari hidupnya
Satu minggu sejak hari itu, Swastamita dan Kusuma, begitu nama yang harus Swastamita sebut dalam setiap doanya, sama sekali belum bertukar suara.
Swastamita bahagia. Saking bahagianya ia sampai lupa bagaimana cara yang tepat untuk menyampaikan rasa sayang. Sampai beberapa hari kemudian, tanggal 3 April, hari ulang tahun Kusuma. Dari apa yang ia ketahui dari ayahnya, Kusuma sangat menyukai kegiatan merajut. Sebagian besar pakaian yang dikenakan Bintar--adik tiri Swastamita yang sangat menyenangkan--adalah hasil dari kelihaian sepasang tangan cantik Kusuma. Maka dari itu Swastamita memutuskan membeli alat rajut berikut benangnya dengan beragam warna. Ia letakkan semua benda itu dalam sebuah kotak dengan secarik surat ucapan selamat ulang dan betapa bahagianya ia karena memiliki seorang ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenapa Bahagia Begitu Mudah?
Ficción General"Gara, boleh aku tanya? Kenapa sih orang-orang mudah banget senyum, ketawa, bercanda, berbagi, menangis? Kenapa sih? Sedangkan aku, bahkan untuk mengeluh saja rasanya aku nggak pantas, apalagi bahagia." "Mita, jangan pernah berpikir kamu nggak panta...