Keadaan Swastamita yang memburuk adalah sebuah fakta yang tidak bisa dihindari. Setelah hari di mana Swastamita mendadak pingsan, Gara langsung melarikan Swastamita ke rumah sakit. Katakan dirinya kurang ajar, namun dengan sesopan mungkin Gara meminta Mei untuk tidak berada di samping Swastamita mengingat kondisi psikologis Swatsamita dan bagaimana besarnya kemungkinan Swastamita akan tantrum jika melihat Mei yang mana adalah trigger-nya.
Hari itu juga Gara mengabarkan keadaan Swastamita seperti apa yang dikatakan dokter kepada keluarga Swastamita. Karena hal itu pula ia bisa beberapa langkah lebih dekat dengan keluarga yang membesarkan Swastamita.
Betapa teririsnya hati Gara ketika mendengar cerita, baik dari Bintar maupun Estu. Gara tau betapa bagai mimpi buruk masa kecil Swastamita. Setelah keluar dari neraka bersama keluarga kandungnya, Swastamita harus masuk ke naraka yang baru bersama Bintar dan ibu tirinya. Jadi melihat kondisi Swatamita bisa sampai seburuk sekarang ini, Gara jadi lebih bisa memahami kekasihnya jauh dari sebelumnya.
Semuanya seperti kembali ke titik awal. Meski tidak dirawat inap seperti yang lalu, Swastamita dilarang ditinggalkan sendiri. Ia harus selalu ditemani, diajak mengobrol, dibimbing.
Malam ini seperti tiga malam sebelumnya, Gara kembali mengunjungi kediaman keluarga Swastamita. Ibu tiri Swastamita yang membukakan pintu seperti biasa. Senyum lemahnya menyapa. Lalu Kusuma berucap, "Oh, Nak Gara, silakan masuk." Seperti sudah hafal dengan maksud kehadiran Gara, Kusuma melanjutkan, "Swastamita ada di belakang sama Papanya. Kamu langsung ke sana aja. Tante buatin teh hangat dulu seperti biasa ya."
"Terima kasih, Tante. Saya langsung ke belakang ya."
Beberapa langkah sebelum mencapai sliding door, suara Bintar menginterupsi dari belakang, "Kak!" Lelaki muda itu berlari-lari menuruni tangga dengan menenteng kamera DSLR di tangan.
Ketika sampai di hadapan Gara, Bintar dengan napasnya yang terengah-engah menyerahkan kamera yang sejak tadi dibawanya kepada Gara.
"Ini buat apa?" tanya Gara penasaran.
"Itu punya Mbak Mita," jawabnya di sela-sela menormalkan napas. "Lo pasti tau kan kalau Mbak Mita suka sama fotografi?"
"Hmm. Terus?"
"Mungkin lo bisa gunain kamera itu untuk," Bintar membuat gerakan dengan kedua telapak tangannya, "bikin Mbak Mita lebih mendingan."
"Gue coba ya. Tapi nggak janji juga karena selama kita pacaran, Mita nggak pernah sekalipun sentuh kameranya."
Wajah Gara tertekuk. "It's sad but true. Dulu fotografi itu selalu jadi stress release Mbak Mita, tapi gara-gara kejadian itu Mbak Mita nggak pernah sentuh itu lagi. Dan gue juga denger sendiri dari psikiater yang nangani kakak gue kalau Mbak Mita pernah bilang hal-hal yang dulu selalu jadi tempat kaburnya nggak bisa jadi tempat kabur lagi. Tapi siapa tau kan kalau lo yang bawa kamera ini ke dia , dia mau lagi. Oh ya, gue tadi siang buka-buka foto di kamera itu and surprisingly, ada foto candid lo di sana. Jadi Mbak Mita nggak sepenuhnya ninggalin hobinya sama dunia fotografi."
***
"Hai," ucap Gara pertama kali saat menemukan Swastamita duduk sendirian di bangku taman, bersama seekor kucing kecil di pangkuan--kucing yang sengaja dibeli Bintar agar bisa Swastamita jadikan 'teman mengobrol'.
Menyadari kedatangan Gara, Estu meninggalkan Swastamita terlebih dahulu dan menepuk pundak Gara ketika keduanya berpapasan di depan pintu.
"Oh hai," seperti biasa, Swastamita akan memasang topeng ketika ia berada bersama orang lain.
"Lagi ngapain?"
Bukan menjawab pertanyaan Gara, Swastamita meletakkan kepala di bahu Gara dan menyurukkan kepala pada cerukan leher Gara. Gara dapat merasakan deru napas hangat Swastamita yang mengenai kulitnya. "Aku belum mandi lho, kamu nggak ngerasa aku bau gitu, Ta?"
Bukannya menjauh, Swastamita makin menyurukkan kepala ke cerukan leher Gara. Sebuah jawaban tanpa suara yang dapat dengan mudah Gara pahami.
"Gara, aku ini baik-baik aja lho. Kenapa aku nggak boleh balik ke apartemen aja sih?" tanya Swastamita mendadak.
"Kamu nggak kerasan di rumah sendiri?"
Terdengar kekeh Swastamita, "Emang aku pernah bilang kalau aku kerasan di rumah. And I thought you already knew the history between my family."
Mengelus surai hitam Swastamita, Gara kemudian menghujani puncak kepala kekasihnya dengan kecupan-kecupan lembut. "Ya udah, kalo gitu tinggal di rumahku aja."
Bugh!
Swastamita memukul dada kanan Gara dengan kepalan tangannya pelan yang diikuti suara kekehan renyahnya. Kekehan yang kemudian menular pada Gara. "Ngaco!"
Seruan yang Gara tanggapi dengan tawa renyah. Ia genggam tangan kanan Swastamita yang mengepal dan ia urai kepalan tersebut. Selanjutnya, Gara isi ruang-ruang sela jemari-jemari Swastamita dengan jemari miliknya. Ia tatap lekat kaitan tangan tersebut dan berpikir betapa tangan mereka saling melengkapi satu sama lain. Perlahan, Gara tunjukkan kamera pemberian Bintar kepada Swastamita, "Ini kamera kamu kan?"
Kedua mata Swastamita membulat. Kemudian dengan dua tangannya, Swastamita meraih kamera dari genggaman Gara. "Ka-kamu dapet dari mana?"
Gara tersenyum, "Aku nemu waktu hari ini beresin apart kamu sama Bintar," dustanya.
Mata Swastamita terlihat berbinar. Ia masih terlihat begitu takjub dengan kamera yang ditunjukkan Gara sampai-sampai tidak menyadari mata gelisah Gara yang menandakan jika lelaki itu sedang berbohong.
Gara melanjutkan kebohongannya. "Aku juga mau minta maaf kalau aku lancang karena aku udah buka-buka kamera kamu. Kamu sempet diem-diem fotoin aku ya?"
Kini Swastamita dengan sorot bingungnya mengalihkan pandangan kepada Gara. "Kapan?"
Gara pura-pura berpikir. "Kayaknya malam itu waktu kita pertama kali ketemu setelah sekian bulan. Di depan Museum Fatahillah?"
Ada semburat merah yang gagal Swastamita sembunyikan dari pipinya. Tanpa menjawab pertanyaan Gara ia menghidupkan kamera tersebut dan kemudian menjelajahi berbagai foto yang masih tersimpan.
"Ini maksud kamu?" tanya Swastamita sembari menunjukkan foto tampak samping seorang lelaki yang sedang menggendong tas gitar.
Kali ini giliran Gara yang memasang wajah terkejutnya. Sejujurnya ia belum pernah melihat foto yang dimaksud Bintar. Dan ketika melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana fotonya tersimpan di dalam kamera Swastamita, ada sesuatu yang timbul dan menghangatkan hatinya. Sesuatu yang tidak pernah Gara rasakan selama hampir tiga puluh tahun hidup di dunia. Sesuatu yang entah bagaimana bisa membuat merasa aman di tengah ketidakpastian hidup yang masih menanti di depan.
Masih belum sanggup menanggapi, Gara biarkan Swastamita berceloteh.
"You know, Gar, sejak hari Mama dateng ke apartemen, nggak ada sedetik pun aku merasa baik-baik aja. Aku juga tau kalau kamu dan semua orang di rumah ini sadar kalau gejala-gejalaku muncul lagi. Tapi, Gar, diantara semua hal yang sudah kamu tau, ada satu hal yang belum dan harus kamu tau. Bahwa nggak pernah satu detik pun aku merasa gelisah tiap kamu ada di sampingku."
Swastamita meletakkan kamera di sampingnya. Kemudian menyerongkan badan untuk menghadap Gara dan menggenggam kedua tangan kekasihnya dengan erat. "Kamu harus tau bahwa nggak pernah sekali pun aku merasa nggak aman tiap kamu ada di dekatku. Kamu harus tau betapa aku berterima kasih ke Tuhan karena udah mempertemukan aku dengan kamu. Malam itu kalau aku nggak ketemu kamu di atap rumah sakit, aku nggak tau apa jadinya aku sekarang. Apakah aku masih ada di sini atau aku udah dikubur. I don't know. Terima kasih ya, Gar, karena kamu bikin aku merasa jadi orang yang berharga di dunia ini."
Tak sanggup menjawab, Gara hanya meraih Swastamita ke dalam pelukannya. Meletakkan telinga Swastamita pada permukaan dadanya agar supaya kekasihnya tau betapa detak jantung Gara selalu tak beraturan karena Swastamita. Sembari mengelus surai lembut kekasihnya Gara berjanji, selama Gara masih mampu bernapas ia akan menjadi atap bagi Swastamita. Seperti sebuah atap, ia akan selalu melindungi Swastamita, membuat perempuan itu merasa berharga, dan memeluk Swastamita di tengah kejamnya dunia sekitar yang selalu menakutinya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenapa Bahagia Begitu Mudah?
Narrativa generale"Gara, boleh aku tanya? Kenapa sih orang-orang mudah banget senyum, ketawa, bercanda, berbagi, menangis? Kenapa sih? Sedangkan aku, bahkan untuk mengeluh saja rasanya aku nggak pantas, apalagi bahagia." "Mita, jangan pernah berpikir kamu nggak panta...