24. Tolong Berhenti

219 56 8
                                    

Gara tau ada yang tidak beres dengan Swastamita. Sejak pagi perasaannya sudah tak karuan. Rasa-rasanya seperti ada yang mengganjal. Yang ada di otaknya hanya Swastamita, Swastamita dan Swastamita. Oleh karena itu demi ketenteraman dirinya sendiri, ia bangkit dari kasurnya yang sangat empuk untuk datang ke apartemen kekasihnya tersebut.

Berbekal satu kotak berisi puding susu untuk Swastamita--puding yang dibuat oleh ibunya--Gara datang denga hati yang gusar. 

Saat berdiri di depan pintu apartemen Swastamita yang tertutup ia menarik napas dalam-dalam. Pikirannya mendadak memproyeksikan bayangan hancurnya Swastamita di atap rumah sakit beberapa bulan lalu. Ia menggelengkan kepala untuk mengeyahkan bayangan tersebut dari ingatannya. Tidak, Swastamitanya pasti sehat dan baik-baik saja.

Baru ia mengangkat telunjuk untuk menekan bel pintu, pintu tersebut keburu terbuka dari dalam, dengan tarikan yang cukup kuat. Gara memundurkan langkahnya, menjauh dari pintu.

Melihat sosok perempuan asing namun tak asing juga dalam ingatannya, Gara mengangguk sopan. Ia ingat-ingat di manakah pernah bertemu perempuan ini sambil melongok ke dalam.

Memajukan langkah sampai berdiri ke tempat semula, Gara dapat melihat sosok Swastamita dengan pakaian rumahnya duduk di atas sofa dengan wajah yang disembunyikan di dua telapak tangannya. Bahunya bergetar juga terdengar suara isakan pelan. Menangiskah ia?

Gara tak dapat menahan dirinya untuk segera masuk. Rupanya kegelisahan yang melanda hati sejak pagi tidak salah. Swastamita sedang tidak baik-baik saja.

Kekhawatirannya pada Swastamita membuat Gara melupakan eksistensi perempuan 55 tahun yang masih berdiri di depan pintu. Saat Gara hendak melangkah untuk masuk ke dalam, bahu kanannya ditahan oleh jemari-jemari lentik. Membuatnya mematung dan memandang si pelaku.

"Ta-" 

Sebelum Gara sempat membuka suara, perempuan berpenampilan necis itu keburu mendorong Gara menjauh dan menutup pintu. 

Dengan alis yang mengerut, Gara memandang perempuan itu. Kini ia tau di mana mereka pernah bertemu. Ya, tidak salah lagi, ini adalah perempuan yang pernah bertemu dengannya beberapa saat lalu di mal. Ibu kandung Swastamita. Yang menurut cerita Swastamita, perempuan ini tidak memiliki hubungan yang baik dengan anaknya.

Kini, berdiri di depan pintu apartemen Swastamita yang tertutup, Gara dan Mei berdiri berhadapan dalam jarak sekitar dua meter. Entah mengapa Gara merasakan atmosfer yang aneh. Dari matanya yang memerah juga kenyataan bahwa Swastamita sedang tersedu di dalam sana, Gara tau pasti baru saja terjadi pertengkaran. Hendak ia mengangkat tangan untuk menjabat tangan ibu Swastamita, perempuan dengan suara serak itu langsung membuka suara.

Suaranya datar, dingin, dan tajam. Kalau saja hubungan Swastamita dan ibunya baik-baik saja, Gara pun pasti akan sangat sungkan dengan ibunya hanya dengan mendengar suara yang tegas.

"Nggak usah basa-basi," ujar Mei.

Gara dapat merasakan riak di tenggorokannya makin liat dan makin sulit untuk ia mengeluarkan suara. Yang Gara lakukan adalah memandang perempuan di hadapannya tepat di mata.

"Kamu yang namanya Gara kan?" lagi ia bersuara dengan cukup tegas. 

"Iya, Tante. Tante ini Mamanya Mi--"

"Kamu tau kalau saya nggak suka dengan hubungan kalian?"

Kalau saja kata-kata bisa membunuh, sudah mati Gara mendengar ucapan Mei. Ibu kandung Swastamita ini tampaknya kekurangan kemampuan untuk berbasa-basi, beramah tamah. Atau mungkin, pikirnya tak perlu beramah tamah dengan Gara.

Namun Gara tak mau bungkam begitu saja. "Maaf, Tante. Iya, nama saya Gara. Saya pacarnya Swastamita. Dan kalau boleh saya menawarkan, tanpa mengurangi rasa sopan saya ke Tante, mungkin kita bisa mengobrol di tempat yang lebih nyaman. Di bawah ada cof--"

"Sudah saya bilang nggak usah basa-basi. Saya nggak suka kamu berhubungan dengan anak saya, dan saya nggak akan restui apapun yang akan kalian lakukan ke depannya. Jadi tolong, bisa kamu menjauh dari anak saya?"

Gara yang pada mulanya masih berusaha menahan emosi dan menampilkan ekspresi sesopan mungkin mulai terusik. Raut wajahnya mulai mengeruh. Tangannya yang memegang plastik berisi makanan mengepal begitu erat.

Gara juga tak dapat menahan keinginannya untuk tersenyum miring dan menghela napas. Ia tau ini tak sopan tapi rasanya Gara tak dapat menahannya lagi. Kenyataan bahwa di dalam sana Swastamita sedang terluka, dan mungkin saja luka itu disebabkan oleh perempuan yang kini berhadapan dengan Gara.

"Senyum itu apa maksudnya?"

Menutup mata sejenak untuk mengambil napas dalam-dalam, beberapa saat selanjutnya Gara membuka suara kembali. "Boleh saya tau, kenapa Tante meminta saya untuk menjauh dari Mita?"

Kali ini giliran Mei yang tertawa sinis. "Itu bukan urusan kamu ya. Yang saya minta dari kamu, adalah kamu menjauh dari anak saya dan biarkan dia sembuh dari semua lukanya dahulu. Saya nggak mau anak saya sakit terus-terusan selama hidupnya hanya karena laki-laki."

Baru Gara mau membuka suara untuk menyanggah, pintu di depan mereka terbuka lebar. Menampilkan Swastamita yang rambutnya terburai berantakan dan wajah yang bengkak karena menangis. 

"Mama!"

Baik Gara maupun Mei terperanjat karena bentakan Swastamita yang terlalu tiba-tiba. Terutama Mei yang memang posisinya membelakangi pintu.

"Udah berapa kali aku bilang sih, Ma, untuk jangan usik hubunganku dan Gara? Dan udah berapa kali juga aku bilang ke Mama kalau aku begini bukan karena laki-laki. Tapi karena Mama! Kenapa sih mama selalu limpahin kesalahan Mama ke orang lain!" Swastamita mendadak tantrum. Berteriaklah ia dalam volume suara yang tidaklah pelan. 

Sampai ada beberapa orang yang melongok dari  pintu unit mereka. 

Merasa menjadi satu-satunya orang yang waras di sana, Gara mendorong pelan dua perempuan di depannya untuk masuk. Bahkan sampai pintu tertutup pun, Swastamita dan Mei masih bersitegang lewat tatapan mata.

"Oke, Mama akui Mama salah. Tapi kamu pikir Mama nggak tau kalau laki-laki bernama Senandika itu juga punya andil dalam semua ini, dan kamu masih mau jatuh ke lubang yang sama dengan Gara?"

"Senandika terus! Berapa kali aku bilang juga sih, Ma, Senandika bukan siapa-siapa dan dia nggak tau apa-apa. Bisa nggak sih Mama stop bawa orang lain ke masalah Mama. Stop jadikan orang lain sebagai orang yang bersalah, Ma. Senandika dan Gara nggak tau apa-apa. Dan memang Mama nggak malu kita sekarang marah-marah di depan Gara seperti ini? Ma, aku capek, Ma. Jadi please stop, seperti yang aku bilang tadi, tolong mama pergi dan--"

Napas Swastamita mendadak memburu, bota matanya juga bergerak tak tentu arah, racauannya terhenti di tengah jalan. 

Dan sebelum Gara dapat mencerna apa yang terjadi, ia sudah menjatuhkan kantong yang sejak tadi dibawanya kemudian menangkap tubuh lunglai Swastamita sebelum perempuan itu membentur kerasnya lantai.

"MITA!"

***


Kenapa Bahagia Begitu Mudah?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang