14. Menghitung Waktu Menuju Titik Akhir

316 70 14
                                    

"Wow, debunya lumayan juga ya, Ta," ucap Gara. Jari tengahnya yang panjang mengusap rak sepatu di depan pintu dan merasakan lapisan debu yang cukup tebal. Belum lagi bau ruangan yang sedikit apek dan cukup pengap membuatnya mengerutkan hidung. Swastamita yang sudah meletakkan tas dan beberapa kantong belanja ke atas sofa segera berbalik.

"Ya udah empat bulan nggak ditinggalin." Melihat kedua tangan Gara yang dipenuhi dengan kantong-kantong belanja, Swastamita segera berlari dan berdiri di depan Gara. Ia menarik kantong belanja dari Gara dan membuat lelaki itu terkejut.

"Kenapa?" tanya Gara.

Swastamita mengulaskan senyum tipis. "Terima kasih banyak udah dibantu belanja. Dari sini kamu bisa pulang, Gar. Ini biar aku beresin sendiri."

Kedua netra Gara mengedar pada apartemen mungil yang hanya memiliki satu kamar tidur dan satu ruangan yang dijadikan ruang tamu dan dapur sekaligus. Melihat sudut-sudutnya cukup membuat ia bergidik dengan beberapa sarang laba-laba serta tebalnya lapisan debu yang melongok malu-malu di atas meja.

Tanpa banyak kata, ia melepaskan kancing kemeja di pergelangan tangan. Menggulung lengannya sampai sebetas siku dan melepas sepatu. Hanya ada satu slippers yang tersedia dan itu pun sudah dipakai Swastamita. Menginjakkan kaki berlapis kaus kaki dan merelakan benda tersebut nantinya akan bergitu kotor karena debu di lantai.

"Kamu mau ngapain?" tanya Swastamita. Menyaksikan Gara berjalan lebih dalam ke apartemen mungilnya dengan kedua tangan saling tertaut. Kepalanya menoleh ke sana kemari sambil menggigit bibir bawahnya. Acap kali keningnya berkerut. Atau bagaimana hidungnya mengkerut merasakan lapisan debu di layar televisi.

Selesai mengobservasi, Gara menoleh kembali kepada Swastamita yang masih berdiri di tempat yang sama. Dengan empat buah kantong belanja mengelilingi kakinya.

Gara menepuk kedua tangannya. Senyum lebar tercipta di wajahnya sampai membuat kedua ujung mata berkerut. Kerutan yang anehnya terlihat begitu menawan. Ia menelengkan kepala dan membuka kedua lengannya dengan lebar dengan telapak tangan menghadap ke atas. "Oke, kita mulai dari mana? Aku bantu kamu beres-beres."

Dan begitulah keduanya menghabiskan hari. Mengusir lapisan debu dan sarang laba-laba dari apartemen bersama deru vacuum cleaner yang mengisi penjuru ruangan. Entah berapa jam keduanya sibuk sampai sekitar pukul delapan malam, Swastamita duduk di atas sofa dengan rambut cepolnya yang sudah berantakan. Gara dengan kemejanya yang basah karena keringat sedang mengatur kembali sambungan kabel ke stop kontak dari alat elektronik di atas meja kabinet. Ada radio, DVD player, dan televisi.

Lima menit kemudian Gara bergabung bersama Swastamita dan menekan tombol power pada remot. Menunggu beberapa detik benda 24 inch itu pun menyala, menampilkan wajah cantik pemain sinetron andalan. "Dah bisa semuanya. Aku juga udah ganti lampu kamar mandi kamu."

Swastamita memandang Gara lekat-lekat, tatapan mata lembut yang menghanyutkan membuat Gara kikuk dan hanya bisa mengusap kepala gugup. "Kenapa? Masih ada yang perlu dibenerin?"

Perempuan itu menggeleng dan masih menatap Gara dengan tatapan yang sama. "Makasih ya."

"Huh?"

"Makasih karena udah mau repot-repot bantuin aku belanja, makasih karena udah susah-susah ikut beresin apartemen. Terima kasih untuk semua hal yang nggak aku minta tapi selalu kamu penuhi."

Gara tahu itu hanya ucapan terima kasih. Ucapan terima kasih yang kadang kala diucapkan hanya untuk formalitas belaka. Namun ucapan terima kasih yang ia terima hari ini berbeda dari yang lainnya. Terima kasih untuk semua hal yang nggak aku minta tetapi selalu kamu penuhi. Ah, kalimat itu berhasil menghangatkan dadanya yang diselimuti angin mendung.

Kenapa Bahagia Begitu Mudah?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang