Swastamita terbangun bersama sinar mentari pagi yang melongok malu-malu dari celah gorden. Seiring kesadaran yang mulai mengambil alih kendali, Swastamita mengangkat tangannya tinggi-tinggi, melakukan penguluran. Netranya menangkap kalender duduk pada nakas di sebelah tempat tidur. Melihat angka 16 yang dilingkari dengan spidol berwarna merah. Matanya terpejam bersama tarikan napas yang menderu dengan cepat. Baru saja ia terbangun disambut damainya semangat pagi, namun hal itu kembali diinterupsi dengan kenyataan bahwa hari ini ... adalah hari yang Swastamita tunggu-tunggu.
Tak menunggu waktu lama, perempuan itu bangkit. Mencuci muka di kamar mandi dan menggosok gigi siap memulai hari. Sambil berjalan keluar dari kamar—setelah memastikan waktu cukup siang bagi keluarganya berkumpul untuk sarapan—Swastamita menggulung rambut tinggi-tinggi dan mengikatnya dengan ikat rambut berwarna biru muda.
Sialnya, seluruh anggota keluarganya sepertinya memang sengaja menunggu Swastamita. Ketiganya sudah berada di meja makan dan meski sudah terdapat masing-masing dua potong roti di hadapan mereka, ayah, ibu, dan Bintar tak segera memulai makannya. Kehadirannya disadari oleh ayah. "Nah ini dia yang ditunggu-tunggu."
Swastamita menelan ludah susah payah. Sesungguhnya ia masih belum siap berada dalam situasi seperti ini. Menghabiskan waktu bersama keluarganya—jika masih bisa ia panggil begitu. Satu bulan terakhir, Swastamita selalu berhasil menghindari acara sarapan bersama. Tapi kini, ketika ayahnya menatap Swastamita penuh harap, Bintar yang sudah berdiri dan menarik kursi untuknya, serta ibu yang sedang mengoles roti dengan selai kacang kesukaannya, tengah tersenyum ke arahnya. Sekali lagi, tersenyum kepada Swastamita.
"Ehm," Swastamita berdeham canggung. Tangan kanannya terangkat menggaruk tengkuk, gugup. Sejak kapan makan bersama orangtua dan adik sendiri bisa membuat gugup?
"Duduk, Mita, kita sarapan bareng yuk," ucap ibu tirinya.
Well, sedikit aneh mendengarkan itu. Kemudian ia teringat dengan lingkaran merah di kalender duduknya. Ah benar, mungkin ini cara Kusuma mengatasi gugupnya. Dengan menarik Swastamita mendekat. Tau jika jadwalnya hari ini adalah melakukan konsultasi bersama Anggun, ditemani ibu tirinya. Seperti yang sudah dijanjikan minggu lalu.
Sebenarnya tak ada yang banyak terjadi di meja makan saat itu. Swastamita tak henti merutuki dirinya karena mengkhawatirkan sesuatu yang seharusnya tak dikhawatirkan. Keluarganya juga bukan keluarga sempurna yang akan berbagi cerita di meja makan. Pernikahan ayah dan ibunya sudah membeku sejak bertahun-tahun lalu, sebagai lelaki dewasa, Bintar juga malas membuka suara. Namun meski begitu, Swastamita merasa tenang duduk di antara orang-orang yang dikasihinya.
Waktu begitu cepat berlalu, dan Swastamita tak tahu harus berbuat apa. Hanya dalam satu kedipan mata, ia sudah berakhir duduk berhadapan dengan ibunya di sebuah kedai kopi tak jauh dari ruko tempat Anggun membuka praktek. Masih ada satu jam sebelum waktu janji mereka, dan waktu itu Kusuma manfaatkan untuk mengajak Swastamita mampir membeli kopi. Oh, hari ini Bintar tidak menyertai mereka. Bodyguard-nya itu sudah memiliki job lain untuk dikerjakan. Entah kenyataan atau hanya alasan untuk membiarkan Swastamita berdua saja dengan Kusuma.
"Kamu mau Mama pesenin apa?" ucap Kusuma sesaat setelah meletakkan sling bag ke sofa.
"Terserah."
Lima menit kemudian Kusuma datang membawa satu tray berisi dua cangkir kopi. Perempuan paruh baya itu mengangsurkan salah satunya ke hadapan Swastamita. "Mama nggak tau apa kesukaan kamu, jadi Mama pesenin latte. Nggak papa kan?"
Tak menjawab, Swastamita hanya meraih cangkir tersebut dan meneguknya. Latte tidak buruk meski ia tidak begitu suka. Ya setidaknya Kusuma tidak memesankan espresso untuknya mengingat betapa ia tidak bisa meminum kopi pahit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenapa Bahagia Begitu Mudah?
Narrativa generale"Gara, boleh aku tanya? Kenapa sih orang-orang mudah banget senyum, ketawa, bercanda, berbagi, menangis? Kenapa sih? Sedangkan aku, bahkan untuk mengeluh saja rasanya aku nggak pantas, apalagi bahagia." "Mita, jangan pernah berpikir kamu nggak panta...