Semua berawal dari selera makan yang menurun drastis. Swastamita makan hanya untuk menuruti kebutuhan hidupnya. Namun sekalipun, Swastamita tak pernah merasakan nikmatnya menyantap makanan kesukaan. Berlanjut dengan pusing dan nyeri yang kadang ia rasakan beberapa kali yang intensitasnya kian meningkat. Awalnya Swastamita mengira itu hanyalah kelelahan biasa. Seharian berdiri di kedai es krim, mondar-mandir ke sana kemari, awalnya ia pikir mungkin karena hal itu. Namun saat Swastamita seharian berada di apartmen, tidak melakukan apapun selain bergelung di atas kasur, pusing itu mendadak hadir. Hampir tiga kali dalam sehari.
Swastamita mulai gelisah ketika gejala itu berlanjut pada emosinya yang tidak stabil. Ia begitu mudah tersulut karena perkataan bawahannya di kedai. Amarahnya juga mudah tersulut acap kali Gara tidak segera membuka atau menerima telepon darinya. Padahal sebelumnya tak sekalipun Swastamita suka memperparah keadaan hanya karena perkara pesan tidak segera dibalas oleh pacar.
Semua itu berujung ketika mendadak ia terkena serangan panik karena complain customer yang seharusnya bisa ia tangani dengan baik. Namun siang itu, setelah mendengar perempuan muda berbicara dengan nada tinggi di hadapannya, mendadak Swastamita merasa pusing. Dua telapak tangannya memegang countertop erat-erat sampai buku-buku jarinya memutih. Deru napas yang mulai tidak teratur, keringat dingin yang kian mengucur, dan ia pun kesulitan bernapas. Ia harus dipapah oleh dua orang karyawan untuk duduk di dapur dan membiarkan pegawai yang lain menanggapi complain customer.
Semua tanda-tanda itu hanya berujung pada satu kesimpulan. Kesimpulan yang ia buat sendiri yang mungkin akan diiyakan oleh para professional. Bahwa mungkin kali ini, benar adanya kondisi mentalnya kembali terusik, terganggu, bermasalah.
Belum genap satu bulan Swastamita bisa sedikit benapas lega karena tidak lagi harus rutin konsultasi kepada dokter Anggun. Kali ini, haruskah ia datang ke tempat itu lagi?
Self-diagnosis tidaklah bagus. Tapi sebagai orang yang pernah mengalami hal serupa bahkan pada tingkat yang paling parah, seharusnya Swastamita tau apa yang harus ia lakukan.
Hal ini juga tidak terhindarkan dari perhatian Gara. Lelaki itu juga merasakan beberapa tindak-tanduk Swastamita yang mulai berubah. Swastamita memang bukan tipe orang yang akan langsung jujur ketika ada maslaah.
Tetapi yang kali ini berbeda. Intensitas pertemuan yang menurun drastis juga mood yang acak-acakan yang bahkan bisa Gara tangkap lewat pesan teks. Terkadang Gara bahkan bisa merasakan Swastamita yang acap kali sewot lewat suara di telepon kalau Gara telat membalas pesan. Hal-hal seperti ini yang tidak pernah Gara temui bahkan sejak pertama kali intens berkomunikasi dengan Swastamita.
Perempuannya seolah kembali pada sosok yang ditemuinya di rumah sakit. Yang galak, judes, dan mudah terulut emosi.
Untuk membuktikan segala dugaan yang mulai berputar di dalam kepala, Gara menyempatkan waktu juga menyiapkan hati mengajak Swastamita bertemu. Beruntung sehari sebelumnya, ketika Gara menanyakan kesediaan Swastamita diajak bertemu, kekasihnya tak banyak berkomentar. Hanya membalas boleh dan menyudahi obrolan.
Bersama satu cone es krim yang mulai meleleh di beberapa titik, Gara menemui Swastamita yang duduk seorang diri di bangku di pinggir pantai. Dapat ia lihat Swastamita yang khusyuk menatap matahari yang sedikit demi sedikit bersembunyi di balik samudera.
"Mita."
"Nih." Tak kunjung menoleh, Gara panggil kembali nama kekasihnya. "Mita."
Swastamita memang menoleh. Namun tatapannya kosong.
Gara mencoba tersenyum, mengangkat sebelah alisnya, namun Swastamita tak jua bereaksi. Gara bahkan sampai melambai-lambaikan tangan di depan wajahnya berulang kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenapa Bahagia Begitu Mudah?
Fiksi Umum"Gara, boleh aku tanya? Kenapa sih orang-orang mudah banget senyum, ketawa, bercanda, berbagi, menangis? Kenapa sih? Sedangkan aku, bahkan untuk mengeluh saja rasanya aku nggak pantas, apalagi bahagia." "Mita, jangan pernah berpikir kamu nggak panta...