11. Apa Kabar

343 88 26
                                    

Swastamita berdiri membeku. Pada saat seperti ini ia dapat merasakan betapa heningnya alam semesta. Hanya suara deru napas miliknya sendiri yang dapat ia dengar. Seolah suara riuh renyah dari individu di sekitarnya tidak pernah ada. Seolah ia dan laki-laki di hadapan hidup dalam gelembung yang terpisah dengan sekitarnya.

Ia benar-benar dapat merasakan pandangannya mulai berbayang. Pelan, ia langkahkah kaki yang terasa ribuan kali lebih berat dari biasanya. Seolah ada puluhan beban yang dikaitkan pada kedua kakinya. Setiap langkah yang memperpendek jarak yang memisahkan ia dengan Gara terasa begitu berat.

Gara di sisi yang lain, menggenggam erat tali yang melingkar di pundaknya, yang mengikat tas gitar agar tetap berada di punggungnya. Netranya menatap lekat Swastamita yang perlahan melangkah mendekat. Ketika tinggal satu langkah yang tersisa antara mereka berdua dapat ia dengar helaan napas yang terdengar begitu berat dari perempuan di hadapannya. Dalam satu kedipan mata, satu bulir air mata jatuh di pipi kanan Swastamita yang berkilauan karena lampu.

"S-Swastamita?" ucapnya lagi terbata.

Swastamita yang mulai tenggelam dalam isakannya yang pelan menganggukkan kepala berulang. Bibirnya membentuk garis lurus menahan suara isakan agar tak mengundang perhatian. Ketika ia merasakan lututnya mulai lemas karena pertemuan yang begitu tiba-tiba, Gara dengan sigap menangkap kedua siku Swastamita dengan tangannya yang lebar.

Pikirannya seolah sedang tak berpijak di bumi, Gara dalam satu gerakannya yang sigap menarik Swastamita dalam pelukannya. Meletakkan telapak tangannya pada punggung dan surai panjang Swastamita yang indah. Perempuan dalam dekapannya masih tidak membalas pelukan namun menyembunyikan wajah di cerukan leher Gara. Suara isakan kini tak lagi ia tahan. Merasuk jauh ke dalam indra pendengaran Gara, melalui sarafnya sampai berakhir di otak. Menggetarkan seluruh tubuhnya bahwa pertemuan ini bukanlah halusinasinya semata.

Suaranya yang bergetar terdengar memecah keheningan antara mereka, "Apa kabar?"

Mendengar suara Gara kembali, membuat kedua tangan Swastamita yang semula berdiam di sebelah tubuhnya pun terangkat. Berakhir pada dua pinggang Gara dan meremas jaket lelaki itu dengan erat.

Bermenit-menit lamanya mereka tenggelam dalam bahu satu sama lain. Menyalurkan rindu lewat kulit yang beradu. Membuang pilu bersama angin yang berderu. Sampai sebuah bola mendekat dan mampir di dekat kaki kanan Gara. Menyadarkan keduanya bahwa bukan mereka saja yang memiliki dunia ini. Bahwa mereka tidak pernah larut dan hidup dalam gelembung tersendiri.

Melepaskan pelukan, Swastamita menundukkan kepala dalam-dalam, merasa malu. Punggung tangannya ia gunakan untuk mengusap kedua pipi yang basah. Mengabaikan Gara yang berlutut di depannya untuk mengambil bola dan mengangsurkannya pada bocah lelaki yang berlari mendekat dengan wajah malu.

"Terima kasih, Om," ucap bocah lelaki itu yang perlahan kembali pada dunianya sendiri.

Ditinggalkan bersama Gara membuat Swastamita salah tingkah tak karuan. Ia masih menundukkan kepala saat Gara dengan jemari panjangnya mengangkat dagu Swastamita. Membuat kedua bola mata cokelat gelap itu kembali bertemu. Dengan telunjuknya yang lain, Gara merapikan rambut-rambut yang berhamburan menutupi wajahnya. Sebelum akhirnya deheman berulang dari perempuan di belakang mereka membuat keduanya kembali menjauh.

Gara dengan tangannya yang bergantung canggung di sisi tubuh dan Swastamita dengan kedua tangan yang tertaut di depan tubuhnya. Gara dan Swastamita yang saling menghindari tatapan namun sekali-kali menoleh satu pada satu sama lain. Dan saat kedua netra itu kembali bertemu selama sepersekian detik, dalam sepersekian detik pula keduanya berusaha keras untuk kembali menoleh ke arah lain. Hal itu terus terjadi selama berulang-ulang sampai entah tatapan singkat yang keberapa membuat keduanya terkikik geli dengan tingkah yang selama beberapa menit lalu terlihat menggelikan. Gara menghadapkan tubuh pada Swastamita, juga sebaliknya. Kali ini bukan senyum canggung namun senyum tulus yang terbit.

Kenapa Bahagia Begitu Mudah?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang