BAGIAN 2- Namanya,-

71 18 21
                                    

Ryan melirik jam tangannya sekali lagi, sudah pukul 7 kurang 20 menit. Sedangkan si, Browni, motor hitam kesayangannya belum kunjung menyala. Motor itu mogok, entah apa penyebabnya. Tapi setahu, Ryan, oli nya yang bermasalah. Ini cuma sok tahu aja.

"Halah, Jepran kemana si?" dia berdecak ketika nomer Jefran masih sulit dihubungi.

"Lo juga," Mata Ryan melirik sinis kearah motornya. "Kenapa mogoknya pas gue mau sekolah sih? Coba aja lu mogok pas masih dirumah, gue udah minta beliin motor baru sama Bunda."

Tiga detik kemudian, Ryan nyegir sendiri, "Becanda doang, Beb. Jangankan dibeliin motor baru, minta uang buat beli bensin aja gak bakal dikasih."

Yang dikatakan Ryan itu benar adanya. Bukannya Bunda pelit, tapi dia sudah dikasih uang bulanan yang lumayan banyak untuk ukuran anak SMA. Jadi, kalau masih minta uang bensin, Bunda pasti marah. Bisa-bisa uang bulanannya dipotong dengan kasus dan tuduhan bahwa seorang Ryan Khaliq Artharendra anak ke-tiga dari Bunda dan Ayah tidak bisa menggunakan uang dengan baik dan benar.

"Lo nyala dong, Beb, bengkel masih jauh banget. Ya kali gue dorong motor segede gini. Bisa turun bero gue."

Ryan menghela napas berat, dia lalu mendorong motornya ke mini market di sebrang jalan agar lebih aman. Ia sebenarnya sudah menelepon orang bengkel, tapi montirnya baru bisa datang jam 8. Dan awalnya, dia minta Jefran untuk menjemputnya, yaa meskipun arah rumah mereka berlawanan, tapi sebagai sahabatnya sejak masih SMP, Jefran pasti mau lah jemput Ryan. Tapi sayangnya, nomer cowok itu tak bisa dihubungi. Kebiasaan seorang Jefran, kalau lagi dijalan, pasti HP nya dinonaktifkan.

Setelah mengunci Browni dengan aman, Ryan memberhentikan metromini yang kebetulan melintas. Ini kali pertamanya cowok itu naik kendaraan umum yang kumuh dan pasti akan berdesak-desakan. Tapi mau bagaimana lagi? ojek dan taksi online akan sulit ditemukan dijam-jam seperti sekarang ini.

Sampai didalam metromini, dugaan Ryan benar. Yang mana, di dalam sudah dipenuhi penumpang, macam-macam bau menguar di udara padahal ini masih pagi. Ryan terpaksa berdiri, dengan dihimpit depan belakang. Ia berpegangan erat pada pegangan tangan yang ada di atas metromini.

"Duh kira-kira gue masih ganteng gak ya sampe di sekolah nanti?"

Takut wajahnya akan kusam karena debu, Ryan membuka tas yang hanya ia sangkutkan dibahu kananya, dan mengambil masker disana. Beruntung, tiap pagi Bunda selalu menyiapkan masker untuknya.

"Lumayan lah." ujarnya, dalam hati.

Metromini nya berhenti, lalu Ryan melihat seorang nenek masuk ke dalam. Nenek itu hanya mampu berpegangan pada pinggiran kursi sebab tangannya tak sampai untuk berpegangan ke atas. Kemudian, sebelum metromini nya kembali berjalan, seorang gadis dengan seragam SMA berdiri, gadis itu lalu mempersilahkan si nenek untuk duduk sembari menguraikan senyum hangat.

Ryan tidak kenal siapa gadis itu, tapi dia tahu dimana gadis itu bersekolah. SMA Gannesa, terlihat jelas dari logo yang ada disalah satu sisi bajunya.

Gadis itu berdiri tepat didepannya, hanya ada jarak sekitar 20cm diantara mereka. Kalau mereka satu sekolah, mungkin Ryan sudah mengeluarkan jurus mautnya untuk bisa mendapatkan perhatian gadis itu.

Biasalah, playboy.

Metromini nya berhenti tepat di depan halte SMA Garuda. Cepat-cepat Ryan turun dan membayar ongkos sebelum ada mantannya yang kebetulan datang berbarengan lalu melihat dia turun dari metromini.

Gengsi? Iya, jelas dia gengsi.

"Yan?"

Ryan menghentikan langkahnya ketika dia mendengar suara Jefran dari pintu parkiran. Ryan menoleh hanya untuk mendapati temannya itu berjalan ke arahnya sembari memakai dasi yang tak pernah sempat ia pakai dirumah.

With, R! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang