"Sorry ya, Na. Si Browni emang sering mogok akhir-akhir ini."Nara hanya mengangguk ketika Ryan berujar sembari duduk disampingnya. Browni si motor hitam kesayangan Ryan kembali mogok ketika hendak mengantar Nara pulang. Beruntung saat tiba-tiba saja motor itu berhenti, ada bengkel di sebrang jalan. Jadi Ryan memutuskan untuk membawa Browni kesana, ketimbang harus menghubungi bengkel langganannya dan menunggu lama.
"Serius gapapa, kan, Na? Gue jadi gak enak kalo lo pulangnya kemaleman."
"Gapapa, Yan, santai aja. Gak bakal ada yang peduli juga sama gue."
"Hah? Gimana maksudnya?"
"Ya gitu." Nara meneguk teh botol yang dibelikan Ryan tadi. "Btw, si Browni kayaknya sepesial banget buat lo."
Ryan menganggukkan kepala sembari menatap takjub pada Browni yang sedang ditangani ahli bedah mesin.
"Hadiah ulang tahun dari nyokap, bokap, dan kakak kakak gue waktu umur 17. Tapi, sekecil apapun pemberian orang, gue udah biasa menjaganya. Kata bokap, gue harus bisa menghargai pemberian orang lain, yaa dengan cara menjaganya."
"Keluarga lo sempurna banget ya?"
"Banyak yang bilang begitu. Dan gue pun merasa begitu. Makanya setiap bangun tidur, satu-satunya hal yang paling gue syukuri adalah ketika gue masih bisa melihat mereka."
Nara tertawa miris, mengingat bagaimana keluarganya yang begitu berbeda dengan keluarga Ryan. Jika ada satu permintaan yang akan langsung dikabulkan, mungkin Nara akan meminta keluarganya menjadi sempurna seperti keluarga Ryan. Dia cuma ingin merasakan menjadi anak emas yang disayangi kedua orang tua nya. Tapi sayang, semua itu cuma sebatas ekspektasi yang Nara paham betul tak mungkin menjadi kenyataan.
Ryan menoleh pada Nara, dia menyadari perubahan di wajah Nara. Wajah itu terlihat sangat sendu, ada setitik air mata yang hanya tergenang dimatanya.
"Anara? Kenapa? Kok tiba-tiba jadi sendu gitu?"
"Ah, gapapa," Nara mengelak, lalu kembali meneguk teh botolnya. "Perasaan lo aja kali, gue biasa aja kok." ucapnya, kemudian.
"Kalo lagi kenapa-kenapa tuh cerita, Na. Jangan sembunyi di balik kata 'gapapa'. Karena itu bisa menyiksa diri lo sendiri."
"Gue beneran gapapa, Yan."
"Gue gak percaya."
Nara menghembuskan napas berat. Dia lalu beranjak, menyusuri tapak demi tapak trotoar Ibu Kota dengan langkah kecilnya. Ryan langsung menyusul dan berdiri di samping Nara.
"Gue suka malam." ucap Nara, menoleh sebentar pada Ryan lalu kembali terfokus pada indahnya malam Jakarta yang sudah agak sepi akan kendaraan.
"Tapi lo takut gelap."
"Malam kan nggak selalu tentang gelap, Yan. Dia punya bulan sama bintang yang selalu setia menjadi penerang. Disaat lampu udah mulai kelelahan."
Ryan menatap ke atas, tepat pada ribuan bintang serta bulan sabit berada. Lalu, dia membesarkan langkahnya, berdiri tepat di depan Nara, membuat langkah gadis itu terhadang.
Ryan jauh lebih tinggi dari Nara, sehingga untuk menatap cowok itu, Nara perlu sedikit mendongak.
"Kenapa?" tanya Nara, bingung kenapa tiba-tiba Ryan berdiri di depannya, ditambah bingung karena cowok itu diam saja.
"Gue tunggu waktu yang tepat untuk lo bisa cerita sama gue."
Ternyata masih prihal itu. Tapi dari sana, Nara bisa tahu kalau Ryan cowok yang pengertian. Dia tahu Nara berbohong saat mengucap kata 'gapapa'. Dia juga tahu ada sesuatu yang Nara sembunyikan dan ingin sekali diceritakan, tapi dia tak memaksa Nara untuk bercerita.
KAMU SEDANG MEMBACA
With, R!
RandomHidupnya berubah ketika dipertemukan dengan seorang gadis bernama Anara. Dia bukan lagi R yang sering kali disebut-sebut badboy. Ia tak pernah menyangka jika pada akhirnya, perjalanan cintanya akan berhenti pada Anara. Gadis dengan sejuta pertanyaan...