"Tumben kamu lupa bawa sepatu, biasanya juga paling semangat kalau jam olahraga."
Ryan hanya menunduk pasrah ketika Pak Suprianto, guru olahraga memarahinya di depan teman satu kelasnya.
"Lupa, saya, Pak."
"BOHONG, PAK." Jefran yang ada dibarisan paling depan tiba-tiba berceletuk. "Sepatunya dipinjemin ke anak kelas sebelah yang barusan olahraga. Bucin dia, Pak."
Tentu saja suara Jefran mengundang banyak tawa serta sorakan yang ditujukan pada Ryan. Di depan, Ryan hanya mampu menatap sinis pada Jefran, sembari merapalkan sumpah serapah yang semoga saja berimbas kepada Jefran.
"Siapa lagi sih, Yan ceweknya? Bapak kayaknya belum tau nih."
"ITU, PAK, INISIAL A." lagi, itu suara Jefran yang menggelegar
Pak Suprianto hanya geleng-geleng kepala.
"Yasudah, sana ke lapangan luar, lari 10 keliling. Hari ini kamu gak saya absen."
Mendengar itu, tentu saja Ryan terkejut. "Loh kenapa engga lapangan ini aja, Pak?"
"Lapangan ini mau dipake buat materi basket. Sudah, sana keluar, sebelum matahari makin panas."
"Udah panas kali, Pak."
"Makanya jangan kebanyakan bucin."
Suara tawa kembali memecah. Menggema diseluruh sudut lapangan basket. Ryan pasrah, dia berjalan keluar dengan dihantui bayang bayang teriknya matahari.
Saat sudah berada di luar, benar saja sorot penuh matahari seolah hanya tertuju pada lapangan yang akan menjadi arena lari nya. Nasib kebagian jam olahraga disiang hari.
Ryan menarik napas panjang, lalu mulai berlari mengelilingi lapangan. Pak Suprianto pasti sudah mengawasinya, maka dari itu dia tak boleh bermalas-malasan. Karena guru itu tak akan segan untuk memberi hukuman tambahan.
Di putaran ke lima, keringat sudah membanjiri tubuhnya. Kaus olahraganya bahkan terlihat agak kuyup. Rambutnya lepek, tapi kalian tahu? Pemandangan seperti itu sungguh sangat ditunggu-tunggu oleh sederet dede gemes pemuja Ryan Khaliq Artharendra. Terbukti, di sepanjang balkon kelas baik kelas bawah ataupun atas, ada beberapa siswi yang dengan setia mengarahkan pandangannya pada Ryan seolah sedang melihat diskon besar-besaran di toko skincare.
Hal itu pula yang membuat Nara penasaran. Dia baru saja keluar dari toilet, dan sudah disuguhkan deretan siswi yang mejeng di pembatas balkon.
Tapi Nara menghiraukannya. Dia awalnya tak peduli sampai telinganya mendengar obrolan dari dua orang siswi,
"Dia mungkin gak ya buat gue?"
"Nggak mungkin sih menurut gue."
"Ahgrr ya ampun, Kak Ryan kenapa si cakep banget."
Nara mengerutkan dahi, "Ryan? kenapa dia?" dia pun melangkah untuk dapat melihat ke arah lapangan.
Dan benar saja, itu Ryan. Cowok yang semalam mengantarnya pulang.
"Oh nggak bawa sepatu, untung aja ada orang baik yang minjemin gue sepatu. Kalo engga, mungkin gue udah lari keliling lapangan kayak dia." ujar batin Nara, ketika dia melihat Ryan yang berlari di lapangan masih dengan memakai sepatu sekolah, bukan sepatu khusus olahraga.
***
Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak 20 menit yang lalu. Tapi Nara dan Kala masih berada di kantin, untuk mengulas tugas matematika yang kebetulan gurunya sama.
Walaupun Nara ada di jurusan IPS dan Kala di jurusan IPA. Tapi tetap saja, ilmu Nara tentang pemecahan soal matematika jauh lebih mumpuni dari Kala. Padahal, setiap hari Kala tak pernah absen bertemu dengan pelajaran matematika, namun dia masih kesulitan dalam memahami musuh sejuta umat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
With, R!
AcakHidupnya berubah ketika dipertemukan dengan seorang gadis bernama Anara. Dia bukan lagi R yang sering kali disebut-sebut badboy. Ia tak pernah menyangka jika pada akhirnya, perjalanan cintanya akan berhenti pada Anara. Gadis dengan sejuta pertanyaan...