Satu hal yang Nara lihat ketika ia baru saja keluar dari kamar mandi yang berada di dekat dapur. Yaitu, keberaadaan Mama nya. Beliau duduk di kursi meja makan, dengan segelas coklat hangat di cup yang masih mengeluarkan asap kecil.
Dada Nara terasa sesak, masih teringat jelas bagaimana semalam ia melihat Mama nya bermesraan dengan laki-laki lain. Juga ketika ia menangis sendirian di kamar sampai matanya sembab. Semua itu karena Mama. Orang tua yang tak tahu tanggung jawabnya sebagai orang tua.
"Nara? Semalam kamu tidur jam berapa? Mama ketuk-ketuk pintu kamar kamu buat kasih makanan kok nggak dibukain?"
Nara tau itu, ia tau Mama nya mengetuk-ngetuk pintu kamarnya. Namun ia menghiraukannya. Membiarkan tangisnya tak bersuara supaya Mama mengira kalau ia sudah terlelap. Walau kenyataannya, semalaman Nara lupa caranya tertidur. terlebih ketika ia baru menyadari obat-nya sudah habis.
"Aku kira Papa doang yang hobi selingkuh. Ternyata Mama juga. Kalian kenapa nggak pisah aja? Punya hidup masing-masing dan tinggalin aku sendiri disini. Biar aku lebih tenang."
"Nara.."
Mama tampak terkejut. Ekspresi wajah Nara yang datar serta suaranya yang terdengar lirih sepertu menahan tangis. Membuat Mama khawatir, namun pada sisi yang lain, dia mengkhawatirkan hal lain.
"Kalian sama aja. Sama-sama nggak bisa jadi orang tua buat aku sama Abang. Kalian nggak pernah mikirin perasaan aku. Kayaknya sekarang Papa juga lagi sibuk sama selingkuhannya." Nara menyambar tas nya di atas meja makan. Lantas menatap dengan sorot penuh luka pada Mama nya. "Aku saranin, lebih baik Mama urus surat untuk perceraian. Dan aku, mau urus surat pindah sekolah. Aku mau tinggal sama Abang aja."
"Naraa..dengerin Mama dulu." Mama menahan Nara, "Mama capek sama semuanya. Mama capek sama Papa kamu yang selalu selingkuhin Mama tapi dia nggak mau lepasin Mama. Jadi Apa salahnya kalau Mama ikut balas kelakuan dia?"
Nara tertawa miris. Lalu tanpa sadar air matanya jatuh begitu saja tanpa bisa ia tahan.
"Nara punya rumah, tapi Nara nggak punya definisi rumah." Nara melangkah pergi dengan sisa tenaga yang masih ia miliki.
Dada nya semakin sesak, ia ingin memeluk Arsen detik ini juga. Ia ingin ada Arsen saat ini juga.
Ini yang Nara benci dari jarak. Ketika ia benar-benar membutuhkan hadirnya, ia hanya bisa bersabar. Berharap angka dalam sebuah jarak itu berubah menjadi nol.
***
"Ini Anara kan? murid baru di kelas 11 ips itu?"
"Oh jadi dia korbannya. Padahal sama-sama mau, kok bisa-bisa nya dia berlindung dibalik kata 'korban''
"Pantes aja identitasnya dirahasia-in. Ternyata emang dia nya juga salah."
Bisik-bisik tak mengenakan menyambut indera pendengar Nara ketika dia menginjakkan kaki di koridor. Dan ketika mata satu orang menangkan keberadaanya, semua mata yang lain tiba-tiba mengarah padanya.
"Wih, Nara, kalo sama gue mau juga nggak?" salah satu cowok menyahut, lalu cowok yang lainnya tertawa.
"Sama gue aja, Na. Nanti dibayarnya lebih mahal kok."
Suara tawa kembali membuyar seolah yang mereka tertawakan adalah lelucon.
"Kalian apaan sih?!"
"Jangan galak-galak dong, sama-sama mau kan?" Cowok yang tadi menyahut menyenggol Nara, melirik Nara dengan tatapan tak wajar. "Jangan sok-sok an jadi korban dong kalo sama-sama mau."
"Nggak usah kurang ngajar ya lo!!"
Kini suara tawa semakin menggila. Nara merasa tidak enak. Dia meninggalkan koridor dengan dada yang sesak. Jantung nya tak terkondisikan. Namun air mata nya tak boleh jatuh, lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
With, R!
RandomHidupnya berubah ketika dipertemukan dengan seorang gadis bernama Anara. Dia bukan lagi R yang sering kali disebut-sebut badboy. Ia tak pernah menyangka jika pada akhirnya, perjalanan cintanya akan berhenti pada Anara. Gadis dengan sejuta pertanyaan...