Akaashi duduk dilantai gudang dengan ekspresi wajah suram. Tak habis pikir dengan sikap seniornya yang begitu kekanakan.
Rasa gelisah juga tertinggal dihati Akaashi. Tas dan ponselnya, semua masih ada didalam kelas. Ia juga ragu jika para senior Baik Hati itu akan membawakan tasnya Pulang kerumah.
Ia jadi tidak bisa mengabari orang tuanya. Bagaiamana cara menjelaskan ini saat pulang nanti? Terlebih lagi telinga Akaashi harus siap 24 jam untuk menerima omelan maut dari sang ibu tercinta.
Sebaliknya Bokuto yang biasanya bersikap paling heboh dari yang lain sekarang justru terlihat biasa saja seperti telah menduga hal ini.
***
Hari mulai gelap, tak ada yang membuka percakapan diantara keduanya. Tidak tahan dengan suasana canggung Itu Akaashi kemudian berinisiatif untuk mulai berbicara duluan.
"Ne, Bokuto-san?" panggil Akaashi. Bokuto menjawab dengan deheman singkat.
'Irit sekali bicara mu...'
"Apa kau merasa terganggu?" Akaashi bertanya sambil menatap langit-langit gudang.
"Terganggu apa?"
"Terganggu karena perjodohan ini"
Perkataan Akaashi sukses menarik perhatian Bokuto yang sedari tadi tertuju pada setumpuk bola voli usang di sebuah kotak kardus.
Bokuto menoleh kearah Akaashi, menatap manik gunmental itu lekat. Yang ditatap juga tak dapat berpaling, ia menatap balik mata Bokuto dengan gugup.
"...."
"...."
"Tidak" sekali lagi jawaban singkat keluar dari mulut Bokuto. Matanya kembali menatap setumpuk bola Voli tadi.
Akaashi semakin merasa gelisah, tidak mungkin kan Bokuto akan marah setelah mereka baru berbaikan?
Tapi jika dilihat dari sifat Bokuto yang gambang merajuk, itu mungkin saja bisa terjadi. Hal-hal kecil yang dianggap orang sepele bagi Bokuto itu sangat penting.
Pertanyaannya sekarang adalah, 'Hal' Apakah itu sampai membuat Bokuto mendadak menjadi pendiam. Akaashi berusaha berpikiran jelas dulu, sisanya biarkan belakangan.
"Bokuto-san... Marah padaku ya?"
Bokuto diam tak menjawab maupun menoleh kearah Akaashi. Ia mem-Pout kan pipinya, Akaashi menghela nafas kemudian mendekat pada Bokuto.
"Kalau begitu aku minta maaf? Ne?"
Bokuto menggeleng.
"Are? kenapa? Kau tidak mau memaafkan ku?"
Bokuto menggeleng lagi. Akaashi masih mencoba untuk tetap sabar, menghadapi bayi besar ini sudah berpuluh-puluh kali ia lakukan.
"Tidak" ucap Bokuto pelan seperti bisikan namun bisa didengar oleh Akaashi.
"Hm?"