Laskar Mimpi | Bab 20

1.1K 181 4
                                    

Bab 20. Doughty

•••

"Lo gak nawarin mampir?" Pria itu melepas helm full face yang ia kenakan. Bibirnya tersenyum manis, matanya berbentuk bulan sabit seiring dengan lebarnya senyuman.

Elena menggeleng, nyalinya ciut seperti kerupuk. Tidak ada orang waras yang membiarkan psikopat masuk kerumahnya dengan sukarela. Terlebih lagi, Elena tidak memiliki firasat bagus soal Mama yang terus-menerus membanggakan Andi di telepon tadi.

"Eum, gue pengen belajar Ndi." Jawab gadis itu kikuk. "Udah mulai sore juga, lo pulang aja."

Andi terdiam sejenak, pandangannya mengedar melalui celah-celah gerbang rumah Elena yang besar. Rumah besar itu terlihat sepi sore ini. Atau memang selalu seperti itu (?)

"Nyokap lo kemana?"

Elena menggaruk tengkuknya, "Mama mungkin rapat sama dewan."

Andi terkekeh sejenak, sedangkan Elena berkedip tak mengerti menatap wajah pria itu. Andi terlihat lebih hangat sekarang. "Gue pulang, tadi cuman bercanda."

Elena menghembuskan nafasnya lega, "o-ow."

"Gue pulang, besok gue jemput." Pria itu bersiap memakai helmnya sebelum Elena mencengkeram erat pergelangan tangan pria itu.

"Hah? Jemput?

"Ya. Kenapa? Lo gak suka?"

Elena menggeleng refleks. "Gue mau sama supir aja."

"Yaudah sama gue." Pria itu duduk bertengger di motor besar miliknya. Matanya yang tajam menatap Elena yang bergerak gelisah.

"Seinget gue, gue bilang mau sama supir." Kesal gadis itu.

"Iya. Mulai sekarang lo bisa anggep gue supir." Jawab Andi ringan. Elena melotot kaget, bibirnya makin kelu dan keringat sebesar biji jagung tiba-tiba menetes melalui keningnya yang basah.

"Makasih Ndi, besok gue sama Pak Maman aja." Menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. "Ng ... gue masuk dulu. Makasih udah anterin!" Elena berlari kencang, tasnya yang berat terguncang kesana-kemari. Andi terkekeh geli melihat tingkah laku gadis itu.

•••

Nafas gadis itu terengah-engah, jantungnya berdetak kencang seiring dengan keringat yang mengalir deras melalui pelipisnya yang putih.

"Kenapa kamu lari-larian?" Wanita yang mengenakan pakaian formal dengan rambut panjang terikat kuda menatap Elena dengan kening berkerut.

"Mama gak jadi rapat?" Gadis itu--Elena, menetralkan deru nafasnya pelan. "Elen tadi lari, takut Mama udah berangkat duluan."

"Mama baru mau berangkat." Wanita itu melongos, menatap pantulan wajahnya di kaca besar bersih persegi panjang yang menggantung tepat di pojokan ruang istirahat. Make up natural glamor nampak kontras dengan pakaian yang ia kenakan. "Oh, tadi kamu berangkat sama Andi kan?"

Elena mengangguk, melemparkan tas gendongnya ke sofa. Gadis itu menatap punggung ibunya yang tengah memasang anting-anting. Elena tidak tau apa yang akan orang tuanya bahas kali ini. Mama bilang setelah rapat, akan ada perkumpulan orang-orang sosialita yang di ketuai oleh Mama sendiri.

"Terus, Andi ngobrol apa aja?" Wanita tersebut kembali bertanya. Elena berkedip mengingat kembali percakapan antara ia dan musuh barunya tersebut.

"Cuman nanya-nanya random." Dustanya. Dalam hati, gadis itu mengutuk. Jangankan mengobrol, bernafas saja Elena enggan. Ia terlalu muak jika harus berbagi oksigen dengan Andi Skipper.

Wanita itu mengangguk, setelah memasang benda ke lubang telinganya. Wanita dengan nama lengkap Fiona Laquitta tersebut menyambar tas selempang wanita yang ia letakkan di atas sofa.

"Mama berangkat, makanan nanti minta Bibi buatin." Wanita itu mendekati anaknya, mengecup pelipis Elena. Fiona tersenyum lembut, "nanti tutor dateng setelah Mama telpon, belajar yang giat ya Elena."

"Iya Mam."

"Jangan buat Mama malu. Kamu gak ada apa-apanya tanpa Mama. Jadi, harus jadi anak pintar." Fiona tersenyum manis, kemudian melenggang pergi. Sedangkan Elena terpaku beberapa saat. Menatap kosong ruangan rumahnya yang lebar. Tidak ada siapapun disana kecuali foto keluarga yang terpajang rapi di antara furniture lainnya.

Elena hendak beranjak, sebelum akhirnya ponsel yang ia genggam berdering menandakan telepon masuk. Membaca nama penelpon, kening gadis itu berkerut heran.

"Iya Cha?"

"Lo udah sampe rumah?"

"Iya." Elena melirik jam dinding besar yang terpajang tak jauh dari tempatnya duduk. "Lo masih sama Arka?"

"Masih. Gue mau minta tolong dong," Suara diseberang sana terhenti untuk beberapa saat. Elena sampai memastikan teleponnya terputus atau tidak. "Lo ke rumah sakit bentar, anterin makanan sama titip pamit, bilang aja gue lagi ada urusan sama Arka."

"Gue di suruh belajar sama nyokap. Bentar lagi tutor dateng." Elena mendesah lesu. Padahal, ia ingin sekali pergi ke rumah sakit tempat saudara Acha di rawat. Sekalian bertemu dokter Gio, pikirnya. Dokter bedah jantung sekaligus psikiater yang telah menanganinya selama tiga tahun terakhir.

"Ow gitu ... yaudah, thanks Elena."

"Eh tunggu-tunggu!" Pekik gadis itu nyaring. Suara tawa singkat terdengar di balik benda pipih miliknya. "G-gue bisa deh ke RS."

"Nanti nyokap marah, Na. Udah deh, gak papa. Nanti biar Arka suruh Andi atau Kevin kesana."

"Gue bisa, Cha." Ngotot Elena kesal. "Gue juga ada perlu di sana. Sekalian cari angin, nanti gue bilang ke Mama."

"Ih makasih banget, Na. Nanti nama ruangan gue kirim lewat WhatsApp ya."

"Lo ada urusan apa memang sama Arka? Tiba-tiba banget." Dengus Elena mengejek.

"Si sialan satu itu buat gue bad mood banget hari ini."

"Kenapa?"

"Ar--" Gadis di sebrang sana menjeda ucapannya, nafasnya terdengar menyeruak jengah. Elena tidak tau apa yang terjadi disana tapi Acha pasti tengah kesal sekarang. "Sabar Ka, gue masih teleponan sama Elena."

"Gimana-gimana?"

"Engga, tadi gue ngomong sama Arka." Terjadi keheningan beberapa saat. "Udah dulu ya, Na. Makasih banget loh."

Suara telepon terputus. Elena mendengus geli terhadap tingkah sahabat barunya yang terlalu sentimentil. Elena tidak tau apa yang terjadi dengan Acha, gadis itu nampak berbeda dari berbagai sudut pandang yang berbeda.

Di Garuda Bangsa, Acha dikenal sebagai anak baru yang sopan, baik, ramah, gadis itu juga menjadi kesayangan para guru dan mampu mendekati Arka yang dikenal dingin dalam beberapa hari. Bersama dirinya, Acha menjadi gadis emosional yang mudah marah terhadap hal-hal kecil.

Sangat kontras dengan emosi rapuh dari tatapan yang tak sengaja ia lihat tempo hari lalu di atap rumah sakit. Meskipun begitu, Acha selalu menjadi penghibur yang baik meski tak pernah menunjukannya.

Elena terdiam sejenak, kemudian menerbitkan senyumannya dengan lebar. Ia tidak tau apa yang bisa merubah mood nya menjadi sebaik sekarang.

•••

Laskar MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang