Laskar Mimpi | Bab 19

1.2K 206 0
                                    

Bab 19. Bullies

•••

Elena mencoba menetralkan deru nafasnya yang memburu. Bibirnya yang bergetar tak juga berhenti merapal rumus-rumus matematika yang ia pelajari siang tadi. Berusaha mengenyahkan segala pikiran buruk mengenai masa depannya yang mulai suram, Elena justru makin kalang kabut dengan kenyataan bahwa Andi tidak akan melepaskannya.

Sekarang gadis itu tau bahwa Andi Skipper Stellan, pria yang ia kagumi beberapa hari lalu adalah bajingan tengik yang pantas dibumihanguskan.

Tak menghiraukan tatapan orang-orang yang mulai menatap aneh ke arahnya, Elena justru mencengkram erat kepalanya yang pusing. Jika hal seperti ini terdengar oleh kedua orang tuanya, maka Elena pasti tidak akan di ampuni.

Asik dengan pikirannya, tiba-tiba sebuah motor Ninja ZX10-R merah terparkir di depannya dengan lembut. Elena tidak menyadari hal tersebut sampai akhirnya pundaknya ditepuk beberapa kali.

"Nunggu jemputan?" Ujar pria di balik helm full face yang dikenakan. Elena mengangguk refleks, gadis itu tau di balik pelindung kepala itu adalah Andi Skipper, pria yang ia hindari mati-matian hari ini.

"Bareng gue aja," suaranya yang tegas dan sarkas membuat beberapa siswa yang berada diarea sekitar menoleh, menatap si pemilik suara dalam tersebut. Elena ikut meringis, mendapati tatapan kaget sekaligus iri dari pandangan orang-orang.

"Na?" Tanya Andi lembut, tangannya yang terbalut sarung tangan motor hitam yang ia kenakan, pria itu kibas-kibas depan mata Elena yang melamun.

"Bareng gue aja, gue tau rumah lo." Ujar Andi lagi. Elena menggeleng kuat, menolak ajakan Andi yang justru terdengar seperti perintah mutlak ditelinga nya.

"Supir gue udah jalan kesini, gue sama dia aja." Gagu Elena pelan, "lo duluan aja."

"Duh, gimana ya?" Andi melepas helm dikepalanya. Menatap jengah wajah Elena yang ketakutan. "Gue udah ngajakin masa ditolak sih."

Elena membungkam mulutnya rapat-rapat, matanya berpijar kesana-kemari dengan takut. Andi kini telah menjadi momok menakutkan untuk dirinya.

"Maaf Ndi, tapi gue bener-bener serius." Elena berdeham tegas, "nanti nyokap bokap gue marah gue pulang sama cowok."

Andi tak menjawab, pria itu hanya tersenyum polos menatap wajah gadis didepannya. Tak menghiraukan tatapan kaget orang lain yang masih di sekitar mereka, Andi tertawa kecil. Pria tersebut kemudian mengeluarkan benda pipih persegi panjang yang ia simpan di balik saku celana hitam yang ia kenakan. Mengotak-atik benda tersebut dengan cepat.

Elena tidak tau pria itu sedang apa, tetapi firasatnya mengatakan bahwa akan ada hal buruk yang akan menimpa dirinya. Belum selesai dengan pikirannya yang tergelung, Andi mengangkat layar ponsel tersebut menghadap Elena. Menyuruh gadis itu membacanya dengan seksama.

"Itu nomor Mama?" Elena memekik tertahan, "gimana bisa? Engga--- Lo dapet nomornya dari mana?"

Andi mengangkat pundaknya acuh, "rahasia."

Elena menetralkan deru nafasnya yang memburu, tak selang beberapa detik ponsel yang ia letakkan di saku bajunya berdering nyaring. Melihat nama kontak Mama tertera di layar, Elena melotot kaget.

"Iya Mam?"

"Kamu pulang sama Andi, sopir udah Mama suruh puter balik jadi kamu jangan nunggu di jemput." Jawaban dari suara wanita di sebrang sana terdengar ramah, seolah-olah menunjukkan kebahagiaannya yang meletup-letup.

"Andi? Gimana bisa Mama kenal sama dia?" Elena melirik si empunya nama yang memasang raut cengiran tanpa dosa. "Aku gak mau, Mam. Aku baru kenal sama cowok itu gimana bisa Mama suruh aku pulang sama dia?"

"Jangan manja, Elena." Nadanya tegas, menggeram di balik telepon. "Kamu gak sopan ngomong gitu ke keturunan Stellan. Orang tuanya salah satu pendukung Mama dalam masa pelantikan. Beliau bahkan kasih suntikan dana buat kita."

Elena menelan ludahnya canggung, tak lagi mendapat kalimat berikutnya dari wanita tersebut, gadis itu menutup telponnya sepihak.

"Hmm? Pulang bareng?"

Elena mengangguk singkat, "Mama suruh begitu."

Andi tertawa terbahak-bahak. Menatap area sekitar yang masih ramai melihat mereka, pria itu mencengkram erat pergelangan tangan Elena. Memaksa gadis itu untuk segera menaiki motor yang ia kendarai.

"Bagus, lo harus tetep jadi pacar penurut selagi kaki lo masih mau utuh."

•••

"Lo mau langsung pulang?" Acha mencengkeram erat jaket hitam yang Arka kenakan. Pria itu, sejak meninggalkan rumah sakit beberapa menit yang lalu, terus memacu kecepatan motornya.

Tak mendapati jawaban dari si pengendara, Acha sontak memukul pelan bahu pria itu. Memaksanya menurunkan gas motornya, seolah mengerti kode dari Acha, Arka menuruti.

"Kenapa?"

"Lo mau langsung pulang?"

Arka terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengangguk mengiyakan. "Iya, di markas gak ada orang. Kevin lagi sibuk sama dunianya, kalo Andi, cowok itu pasti lagi ngelakuin hal yang sama."

Acha menghela nafasnya dengan pelan, "lusa Fika udah pulang dari RS."

"Terus?"

"Gue mau kasih hadiah sebagai ucapan terimakasih udah sembuh." Arka tertawa, pria itu sontak menepuk punggung tangan Acha yang masih menempel erat di pinggangnya.

"Kenapa lo ketawa?" Timpal Acha lagi.

"Lo lucu."

"Gak ada yang lucu, ego." Dengus gadis itu, "selera humor Lo aja yang perlu diperbaikin."

"Gini aja, besok setelah pulang sekolah. Kita ke pusat perbelanjaan samping Garuda Bangsa." Usul Arka, "ada yang mau gue beli juga soalnya."

"Mau beli apa?"

Arka mengangkat kedua bahunya, menatap pantulan wajah Acha dari kaca spion motor yang ia kendarai. Wajah tersebut terlihat cantik jika terpapar sinar matahari sore. "Mau beli apa aja."

"Apa aja itu apa, Arka?" Gadis itu mengerang, sesaat kemudian menghela nafasnya dengan jengah. "Ah lupain."

"Pokoknya bawa motor pelan-pelan, lo kalo ngundang Izrail jangan bareng gue!" Sinis Acha sewot. "Setelah pulang anter gue langsung pulang."

"Lo pikir gue mau kemana?"

Acha mengerutkan keningnya berpikir, "mungkin cari cewek baru."

Pria itu tertawa kecil, "jadi lo cemburu?"

"Emang gue tipe orang yang mungkin ngelakuin hal menjijikkan kaya gitu?"

"Itu namanya cemburu, Cha." Arka mengangguk-anggukkan kepalanya takjub. "Wah wah wah, sekarang lo udah jadi cewek tulen."

"Selama ini lo ngebayangin gue siapa?" Acha melotot memperingati, "lagian gue gak cemburu kali. Itu spekulasi refleks dari kebiasaan cewek."

"Semakin lo beralasan, semakin lo keliatan cemburu, Cha."

•••

TBC

Laskar MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang