Laskar Mimpi | Bab 3

2.2K 401 12
                                    

Bab 3. Equanimity

•••

Arka menatap wajah pria di depannya dengan datar. Daniel Radcliffe, pria yang menyandang gelar sebagai orang tua kandung Arka Deovano Anggara tersebut bernafas dengan jengah. "Mau apa?"

Arka melirik diagram presentase dari laba perusahaan tahunan yang terpajang di mading kecil ruangan kerja ayahnya, "Uang." Jawabnya singkat.

Daniel Radcliffe tertawa, kacamata hitam bulat yang dikenakannya ia lepaskan. Menatap wajah datar anaknya yang keras. "Mau beli apa?"

"Hati."

Daniel melotot kaget, "perasaan gak bisa dibeli pakai uang, Arka!"

Arka memiringkan kepalanya ke kanan, bibirnya tersenyum lebar melihat ekspresi ayahnya yang kaget bukan kepalang. "Bukannya papa gitu ke semua orang?"

Daniel menutup matanya rapat-rapat, sifat Arka yang sering memutarbalikkan kalimatnya adalah hal yang paling Daniel benci. Terlebih lagi jika semua yang Arka katakan adalah kebenaran.

Benar kata Sella, sifat buruknya semasa muda menjadi boomerang untuk dirinya sendiri.

"Nanti papa transfer. Enyah kamu dari depan Papa." Daniel Radcliffe membuang wajah, kemudian memasangkan kembali kacamata yang ia lepas. Berfokus pada layar laptop yang menyala.

Arka tersenyum tipis, membuat Daniel kesal adalah kesenangan tersendiri baginya. "Mama memang yang terbaik dari Papa." Ujarnya singkat.

Daniel mendongak, memasang raut wajah emosi dengan pipi memerah menahan amarah. Sedangkan Arka terkekeh-kekeh, selain mudah terbawa emosi. Daniel adalah pencemburu akut. Bagi pria itu, tidak boleh ada yang menyukai Sella selain dirinya. Maka dari itu, sebelum melahirkan Arka, Daniel menulis surat perjanjian pada istrinya.

Bahwa sampai kapanpun, Daniel akan jadi yang pertama.

Daniel tidak ingin cemburu pada anaknya sendiri maka dari itu, ayahnya mengabulkan semua permintaannya dengan syarat tidak boleh mengambil atensi istrinya.

Ayahnya adalah pria ambisius yang pernah Arka temui selain Kevin.

•••

Acha menatap punggung teman-temannya dengan lekat. Tempat duduknya yang berada paling ujung belakang terkadang membuatnya kesulitan. Tapi kini Acha kira itu tidak terlalu merugikan.

Menatap punggung bahu orang-orang membuatnya sadar bahwa tidak hanya dia yang memiliki beban. Acha ditampar oleh kenyataan bahwa sampai kapanpun ia tidak boleh mengeluh dan tidak berhak melakukan hal tersebut.

Tapi permintaan ayah terlalu keji untuknya.

Semasa kecil, Acha hanya mendapatkan perlakuan buruk dari ibu kandungnya sendiri. Ibu bilang, Acha adalah karya terbaik yang beliau buat tapi karya tersebut berjalan cacat.

Karena Acha mempunyai hati. Acha memiliki emosi maka dari itu Zeline—ibunya— memilih menghancurkan setiap emosi dirinya.

Hari-hari itu, Acha tidak keberatan dengan perlakuan buruk sang ibu meskipun badannya gemetar penuh memar. Karena katanya, luka adalah bentuk cinta. Ibu memukulnya membabi-buta dan Acha tidak keberatan dibuatnya.

Ibu sayang Acha, pikirnya saat itu.

Berbeda dengan perlakuan yang ia terima, maka dari itu ia tidak marah melihat Zeline membelikan Fika baju baru. Acha tidak keberatan melihat rambut Fika yang terurai rapi ketimbang rambutnya yang pendek tak berbentuk.

Setiap kali Zeline memukulnya, ayah tidak pernah ada di sampingnya untuk menguatkan. Kenzo Kavindra hanya melirik dingin dengan apa yang istrinya perbuat.

Kenzo hanya menyanyikannya lagu ulang tahunnya sekali, tapi Acha tidak pernah bisa melupakannya seumur hidup.

Lalu, saat beberapa bulan lalu Zeline dinyatakan mengidap penyakit jantung, Kenzo memohon agar memberikan jantungnya pada ibu dan adiknya.

Acha menatap langit-langit kelas yang putih. Hatinya bimbang, logikanya berpikir panjang. Bagaimana bisa ia mencari pendonor hati dan jantung yang cocok untuk keluarganya?

•••

A

rka menggores tinta dari bolpoin cair hitam kedalam buku tulisnya. Mengukir huruf dan angka menjadi kalimat bersusun rapi. Dari hal kecil tersebut, siapapun bisa tau bahwa pria itu adalah seorang perfeksionis.

"Nomor tiga?" Suara Bu Deka kembali mengalun, mengisi gendang telinga dari setiap murid yang ada. "Gimana nomor tiga? Gak ada yang mau maju?" Tanyanya lagi.

Arka menatap suasana kelas yang hening. Beberapa siswa mencoba terlihat sibuk dengan buku paket di hadapan mereka. Sebagian siswa lainnya, menunduk atau menenggelamkan wajahnya ke bangku.

Arka mengerutkan kening tak mengerti.

"Inilah yang Ibu gak suka dari kalian. Kalian itu pemalas! Bukannya sudah ibu jelasin gimana cara ngerjain soal seperti ini di hari sebelumnya?" Ketus guru itu kesal. "Kenapa gak bisa? Bagian mana yang sulit? Kita udah ambil materi ini nyaris tiga Minggu tapi kalian gak paham-paham?"

Bu Dekat memijat pelipisnya yang pusing. "Yang bisa jawab nomor tiga, buruan maju! Mau maju sendiri atau ibu pilih?"

Mata wanita tersebut bergulir kesana-kemari, menatap satu persatu wajah muridnya. "Yak, Robi. Silah-"

"Saya aja, Bu."

Atensi kelas menoleh, memperhatikan objek yang sama. Arka Deovano Anggara, selaku penunjuk diri, mengangkat bokongnya. Berjalan tenang menuju papan tulis putih. Dua soal di atasnya sudah dikerjakan dengan benar.

Arka mengetuk spidol hitam yang diberikan Bu Deka padanya. Matanya melirik tajam pada untaian pertanyaan dan angka dari soal fisika yang diberikan. Seolah itu adalah pekerjaan mudah yang biasa Arka lakukan, pria itu menggores spidol tersebut dengan tenang. Membentuk barisan angka lainnya yang terjabar jelas.

"Mau sampai kapan kalian bergantungan sama jawaban yang lain." Wanita setengah baya tersebut menggelengkan kepalanya mendramatisir. "Arka, duduk. Kita koreksi jawaban Arka."

Arka beranjak duduk, matanya bersileweran menatap jendela kelas yang bening. Di depan sana, cewek dengan rambut tercepol asal tengah memegangi beberapa buku paket yang tebal. Berjalan melewati kelasnya dengan tenang.

Arka tidak tau apa yang terjadi padanya sampai akhirnya ia mulai menyadari telah menatap wajah lain dalam kurun waktu lima belas detik tanpa berkedip.

Andi yang melihat hal tersebut sontak menutup mulutnya syok. Arka adalah pria yang mempunyai mood seperti bayi. Lelaki itu cepat bosan, jangankan menatap lekat punggung seseorang. Arka bahkan tidak pernah menatap wajah orang lain selain Andi, Kevin, dan orang tuanya selama lima detik.

Arka begitu cacat, tentunya hanya orang terdekat yang mengetahui hal tersebut. Bagi publik, sosok Arka Deovano Anggara adalah lelaki tampan yang mempunyai sifat maskulin yang semakin menatap dingin objek, maka semakin menguarkan feromon tanpa batas.

Andi terkekeh, lelaki yang bangkunya terletak tepat di belakang Arka tersebut mendekatkan dirinya ketelinga pria itu. "Jadi, apa keistimewaan cewek ini?"

•••

TBC

Laskar MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang