Laskar Mimpi | Bab 7

1.8K 329 8
                                    

Bab 7. Chaos

•••

Acha tertegun, gadis itu terdiam dengan sorot mata yang kosong. Di depannya, Elena berdiri mematung kaget. "as you can see."

"Lo serius perokok aktif?"

Acha tertawa kecil, seolah keterkejutan Elena bukan masalah besar baginya. Gadis itu tetap terdiam sembari menghisap benda nikotin tersebut.

"Menurut lo, manusia bisa hidup tanpa hati, Na?"

Elena membola, "what?" Gadis itu berkedip beberapa kali. "Ngomong yang bener, Cha!"

Acha mengangkat alisnya, "menurut lo, manusia bisa hidup tanpa hati?" Tanya nya lagi.

Elena berdecak, tangannya yang menggenggam sebuah buku tebal tersebut meraup rambutnya yang rapi. Mencengkeramnya dengan erat. "Lo gak mau jelasin apa yang terjadi sekarang?"

"Kenapa harus?" Acha menghisap rokok pendeknya. Membuangnya kemudian menginjaknya hingga bara rokok tersebut tandas.

"Lo gangguan bipolar?"

Acha tertawa kecil. "Alasan?"

"Dikelas lo kelihatan polos, ramah, baik. Sekarang yang gue liat kebalikannya!"

Acha terdiam sejenak sebelum akhirnya beranjak mendekati sahabat barunya tersebut. "Kenapa lo disini?" Tanya nya mengalihkan.

Elena terdiam, matanya menyorot manik hazel Acha dengan kecewa. "Atau, siang ini cuman cerita khayalan lo? Jadi bener, lo anak dukun?"

"Menurut lo itu bener?"

Elena menggulirkan kedua bola matanya, melirik kanan-kiri dengan ragu. Tak berani menjawab pertanyaan Acha yang begitu rumit.

Acha melangkahkan kakinya menuju kursi yang dibuat dari tumpukan bata. "Daripada lo berpikir keras soal kebenaran di balik masa lalu gue, kenapa lo gak belajar aja?" Acha melirik sebuah buku tebal yang dipeluk Elena erat.

"Ganggu kecemasan?"

Elena melebarkan matanya syok. "Ngomong apa lo?!" Jawabnya kaku.

Acha tertawa singkat. "Udah jelas kali. Dari gimana gue liat cara lo yang perfeksionis abis soal pelajaran di kelas." Gadis itu menepuk tempat kosong di bangkunya, menyuruh Elena duduk. "Terkadang, mimpi masa depan itu adalah rintangan paling sulit dalam hidup manusia."

Elena mendaratkan bokongnya segera, "maksud lo?"

Acha lagi-lagi tertawa, seolah percakapan ini adalah lelucon untuk dirinya. "Bukan apa-apa."

Elena terdiam, membiarkan keheningan menyelimuti. Mereka sama-sama mengerti bagaimana karakter diri masing-masing yang begitu tertutup.

Elena Aqira Calandra, gadis berusia nyaris tujuh belas tahun yang mengidap gangguan kecemasan berlebihan tentang impiannya di masa depan.

"Gue gak mau diposisi ini kalau bukan karena nyokap-bokap." Elena membuka suaranya setelah terjadi keheningan beberapa saat. "Persaingan dunia politik lebih keji daripada apa yang lo lihat, Acha."

Acha menoleh, "ya?"

"Bahkan setelah nyokap gue resmi jadi gubernur Beliau tetap maksa gue buat sederajat dengan anak-anak bangsawan lainnya. Gaya pakaian, tempat sosialisasi, dan kecerdasan otak."

Acha tertegun.

"Lo pernah mikir, apa ada orang yang ngehafal vocabularry dan rumus matematika di pemakaman bokap sendiri?" Elena menoleh, menatap iris mata Acha yang melebar terkejut.

"Punya gangguan kecemasan itu gak enak, Cha." Elena menatap buku paket tebal yang ia pangku. "Terkadang lo terus bermimpi tapi lo cemas dengan hasil pencapaian lo sendiri."

"Jadi, kita ini dua orang yang terus bermimpi." Acha menjawab kalimat Elena dengan kalimat baru. Gadis itu menyentuh jemari Elena dengan lembut. Menggenggamnya pelan-pelan. Sembari menatap langit sore rumah sakit, Acha melanjutkan. "Seperti laskar mimpi."

•••

Kevin mengangkat sekantung belanjaan yang ia beli dari minimarket terdekat dari markas. Persediaan barang-barang kian menipis karena mereka lebih sering menghabiskan hari-hari mereka ditempat tersebut.

Matanya yang tajam dan wajah yang tegas, dengan gesit menenteng paper bag kedalam bagasi mobil yang sudah terbuka.

Sesaat kemudian, sebelum ia masuk kedalam mobil. Kornea matanya tanpa sengaja bersibobrokan dengan objek yang menarik atensinya. Bukankah itu Keysa? Gadis yang menyukainya?

Kevin tersenyum tipis, dengan segera pria itu masuk kedalam mobil. Melihat objek di sebrang sana lamat-lamat. Di samping Acha, berdiri pria lain yang ia ketahui bernama Edgar. Sahabat dari gadisnya.

Setelah memastikan gadis itu masuk kedalam busway yang berhenti di halte yang disinggahi, Kevin memacu kecepatan mobilnya meninggalkan minimarket tersebut. Menuju markasnya, hari ini mood-nya yang buruk tiba-tiba menjadi baik hanya setelah melihat gadisnya dari kejauhan.

"Dari mana aja lo!" Andi——pria dengan setelan celana boxer hitam, menyambar jantung yang Kevin bawa dengan cepat. "Udah mau magrib, gue belum mandi. Anjir banget shampoo-nya habis pada waktu yang gak tepat." Oceh nya pelan.

Arka menggeleng-gelengkan kepalanya heran. Pria itu menatap wajah Kevin yang tersenyum lebar sembari membuka laptop kesayangannya di meja. Pria itu, pasti sehabis bertemu dengan Keysa, pikir Arka ringan.

"Jadi, gimana permintaan gue?" Arka membuka kalimatnya. "Tentang hati."

Kevin melirik Arka tiga detik. "Ya."

"Jadi kapan lo jalanin situs red room lagi?" Arka yang sebelumnya rebahan santai, merubah posisinya menjadi duduk. "Gue butuh hati."

Kevin merubah raut wajahnya menjadi datar. "Jijik."

"Hah?"

"Kalimat lo," Kevin menjeda ucapannya. Pria itu kembali tersenyum lebar seolah penyakit ekspresinya kambuh. "... menjijikkan!"

Arka tertawa, "gue serius."

"Minta bokap lo." Kevin menyerang tatapan mata Arka dengan dingin. "Atau si tua Sergio."

"Bokap lo masih saingan sama kakek gue?" Arka membuka botol mineral yang Kevin bawa. "Hal-hal jahat begitu, kenapa harus di peributkan?"

"Siapa yang gak mau jabatan? Apalagi ini isinya tentang harta dan reputasi." Kevin memegang rahangnya yang pegal. "Menurut lo, bakal kemana semua larinya pemasok narkoba ke pedagang nakal?"

"Setelah Sergio keluarin jenis narkoba baru, dia pasti jual dengan harga yang mahal. Pembelinya juga pasti orang yang berada, dan dari orang itu pedagang lain ikut ambil alih buat penghasilan. Itu namanya rantai kehidupan."

Arka menatap wajah Kevin yang datar.

"Setelah Sergio mati, pasti banyak orang-orang yang mau ambil alih kedudukannya. Dunia ini picik, Arka. Jangan terlalu naif, lo harus belajar tentang pemangsa dan dimangsa dari bokap lo."

Kevin memegang rahangnya, "ah sial, mulut gue pegel." Timpal nya singkat.

Arka terbahak-bahak.

"Oke, gue bakal ngomong ke bokap soal hati manusia itu. Setelah gue pikir-pikir, itu bukan masalah besar karena Sergio juga ngejual organ tubuh."

Kevin mengangguk setuju. "Jadi, berhenti ngomong soal hati ke gue, itu ..." Kevin menjeda kalimatnya, matanya kembali menatap layar laptopnya dengan seringai tajam.

"... menjijikan!"

Andi yang baru saja datang, memegang dadanya terkejut. "Lo ngomong apa barusan ke gue?"

•••

TBC

Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

Laskar MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang