Laskar Mimpi | Bab 11

1.5K 266 9
                                    

Bab 11. Bamboozle

•••


Gadis itu terdiam, pandangannya menyapu sekeliling sekolah. Bel pulang sudah berbunyi beberapa menit lalu, dan tepat itu juga Arka mengabarinya untuk pulang bersama. Jadi disinilah Acha sekarang, duduk termenung di kursi tunggu depan perpustakaan. Memandangi lalu-lalang murid lain.

Acha mendongak begitu mendapati sepasang sepatu pria yang dikenakan Arka berhenti didepannya. Wajah datar andalan pria itu masih terpatri disana. Acha tak menyapa, tapi ia segera beranjak dari tempat duduknya. Mengikuti Arka yang sudah berjalan beberapa langkah didepan.

Motor Kawasaki Ninja ZX10-R yang Arka kendarai berhenti didepannya. Acha terdiam, kemudian melirik kanan-kiri. Pandangan murid lain yang sepertinya mulai mengenali si pemilik motor, membuat perasaan Acha sedikit khawatir.

"Gue jalan ke halte depan, jangan langsung bonceng gue di parkiran gini." Ujar Acha pelan. Gadis itu kemudian melanjutkan langkahnya, berjalan pelan menuju halte bus yang tak jauh dari Garuda Bangsa. Meskipun disana masih ada beberapa murid lainnya, tapi setidaknya tidak seramai parkiran motor.

Acha tidak tau apa yang salah dengan dirinya, tapi sejak pesan yang Arka kirim semalam, pikirannya terus berkelana.

Hari ini Fika akan operasi.Setelah nyaris setengah hidup gadis itu ditemani oleh penyakit hepatitis, akhirnya ia bisa melalui hidupnya dengan normal.

Acha terlalu bahagia dengan kenyataan itu sampai lupa bahwa masih ada Zeline yang membutuhkan jantung untuk hidup.

Bagaimana dengan Kenzo? Pria itu pasti akan marah dengan keegoisan Acha yang terlalu besar. Bagaimana bisa ia mencarikan pendonor hati untuk Fika tapi tidak untuk Zeline?

Acha menghembuskan nafasnya pelan, motor besar Arka telah bertengger manis didepannya. Gadis itu kembali menoleh guna memastikan suasana. Tanpa berbicara, Acha segera naik. Membiarkan pria itu mengendarai motornya dengan kecepatan standar.

"Ayah pasti bakal marah," dengusnya pelan. Arka, pria yang pada dasarnya memiliki pendengaran yang tajam menatap pantulan wajah Acha melalui spion motor.

"Kenapa?"

Acha tersenyum singkat, "karena ..." Gadis itu terdiam sejenak. "Ah lupain."

Arka tak lagi membahas, pria itu segera menurunkan kecepatan motornya saat mereka sudah sampai di parkiran rumah sakit. Acha segera turun, sedangkan Arka hanya terdiam di motornya. "Duluan." Titah pria itu.

"Lo?"

"Gue ke toko baju bentar, lo duluan aja." Arka melepas standar motornya, kemudian berlalu begitu saja meninggalkan Acha yang terdiam menatap punggung tegas itu.

•••

"Mbak cepet banget cari pendonor buat aku." Fika tersenyum lebar, memamerkan giginya yang putih bersih. Acha tak menjawab, gadis itu hanya mengelus surai Fika.

"Gimana soal jantung Ibu? Mbak sudah ketemu pendonor?" Acha memutar badannya menatap bangsal Zeline. Bibirnya bergetar, matanya berembun dan dadanya terasa sesak.

Kenapa setelah sekian banyak luka yang Zeline toreh, Acha tidak bisa menghilangkan rasa simpatinya kepada wanita itu?

"Belum."

Fika tidak lagi bertanya, gadis itu memandangi almamater sekolah yang Acha kenakan. "Bagus, kapan ya Fika bisa sekolah?"

"Nanti, nunggu sudah sembuh dan pulih." Balas Acha.

Fika menatap langit-langit kamar yang putih. Kenzo sedang menuju perjalanan pulang ke Jakarta begitu mendapatkan kabar dari pihak rumah sakit, bahwa ada pendonor hati dengan nama yang dirahasiakan.

Fika tidak tau siapa pemilik hati itu, tapi Acha terus meyakinkan bahwa ia mendapatkannya dari kenalan temannya.

"Temen Mbak jadi kesini?"

Acha berkedip, baru mengingat bahwa ia lupa bersama Arka. Saat hendak mengeluarkan ponsel mengabari pria itu, pintu ruangan mereka tiba-tiba diketuk pelan.

Pria bertubuh tegap dengan tatapan mata tajam menatap Acha yang melihatnya keheranan. "Kok lo bisa tau ruangan ini?"

Arka mengangkat kedua bahunya acuh, sesaat kemudian ia menyodorkan sekantung belanjaan kepada gadis itu. "Ganti dulu," ujarnya.

Acha mengangguk kecil dengan segera ia memasuki kamar mandi ruangan VIP yang adiknya tempati. Berganti pakaian seperti yang sudah lebih dulu Arka kenakan.

Pria itu mengenakan baju kaus putih yang sama seperti yang ia belikan untuk Acha. Dengan dipadukan jaket biru dan celana levis Arka mungkin akan menarik perhatian orang-orang dengan wajahnya yang tampan.

"Temen Mbak Acha ya?" Fika menyorot tajam mata Arka yang datar.

"Pacar."

"Hah?" Fika berkedip beberapa kali sebelum akhirnya menoleh ke arah bangsal Zeline yang masih sama. Wanita itu belum juga beraktifitas sejak sebulan yang lalu divonis koma.

"Kalian pacaran?" Fika mengecilkan volume suaranya. "Gimana bisa?"

Arka mengangkat kedua bahunya, "why not?"

Fika mencibirkan bibirnya kesal, "Mbak itu orangnya aneh." Baiknya lagi.

"Kenapa?"

"Dulu kata Ibu, Mbak pernah dipukulin temen-temennya. Tapi Mbak gak pernah nangis, dia malah pengen semua orang mukul dia sampe dia berdarah-darah."

Arka tertegun.

"Terus gak lama, Mbak di kirim ke Singapura buat pengobatan. Dia baru balik ke Jakarta lagi setelah ayah ngabarin kalo Ibu sakit jantung dan butuh Mbak Acha buat gentian jaga kami."

Arka menatap manik hazel Fika, pria itu tersenyum miring dengan kepala yang tertoleh ke kanan dengan polos. "yakin itu alasan Acha pergi ke Singapura?"

Fika tertawa singkat. "Emang ada alasan lain?"

Arka menatap Zeline terbaring, Fika mengikuti gerakan Arka yang seolah menunjukannya sesuatu. "Tanya sama dia, atau Kenzo."

Fika terdiam, keheningan terjadi beberapa saat. Arka tersenyum tipis melihat ekspresi Fika yang berubah. Pria itu kemudian terkekeh hambar begitu Acha keluar dari bilik kamar mandi.

"Ada apa nih, kok lo tumben ketawa?"

Arka menepuk puncak kepala gadis itu pelan, kemudian meraih genggamannya tangan Fika yang kaku. "Abis ngobrol."

Acha mengangguk-anggukkan kepalanya, "ngobrol apa?"

Fika mendongak, menatap wajah kakaknya. Senyum gadis itu terpatri kecil disana, dengan tatapan sayu, Fika membalas. "Fika tadi dikasih tau, soal Mbak."

"Soal aku?"

"Ya." Fika mengangguk polos, "soal kalian udah pacaran tapi gak kasih tau aku."

Acha tertawa, "lagian buat apa dikasih tau?"

Fika mengembungkan pipinya kesal, "pokoknya setelah ini, gak ada lagi rahasia di antara kita ya."

Acha terdiam sesaat, dengan pandangan kosong gadis itu membalas, "Ka, Mbak lapar. Aku keluar dulu ya."

Fika mengangguk, kemudian membiarkan gadis berambut panjang itu digiring keluar bersamaan dengan langkah Arka yang pelan.

"Cepat sembuh, Fika." Arka tersenyum lebar, kemudian menutup pintu ruangannya dengan pelan.

•••

TBC

Laskar MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang