Bab 22 🔞

532 91 29
                                    

Mungkin dia gila.

Di sepanjang perjalanan kata itu terus menempel di kepala Hinata. Andai kulitnya transparan, boleh jadi umpatan itu bisa dengan jelas terbaca orang-orang. Mukanya yang ketat dipampangkan, meski tak ada siapa-siapa yang melihat. Di dalam taksi dia duduk tegang dengan tangan bersedekap, lalu bibir mungilnya dimonyongkan. Lengkap sudah tanda-tanda kejengkelan tingkat tinggi yang kini tengah menguasai dirinya.

"Nona, kita sudah sampai. Apa Anda baik-baik saja?" Entah kenapa suara si sopir sengaja dilantangkan. Hingga Hinata terkesiap, seperti baru saja tersadar dari lamunan. Padahal sedari tadi diam-diam dia merutuk dalam hati.

"Kenapa, Pak?"

"Kita sudah di sini sejak beberapa menit yang lalu, Nona. Alamatnya benar 'kan? Saya berulang kali memanggil Anda, tapi Anda tidak menyahut." kening Hinata spontan mengerut. Buru-buru dia menoleh ke kiri, membuka jendela mobil dan membaca tulisan pada gapura elit yang berdiri kokoh di pintu masuk.

"Maaf. Tadinya saya pikir masih jauh." Hinata tersenyum sumbang. Lantas dia turun dari taksi usai membayar 1200 yen kepada si pak sopir.
.
.
.

Kedongkolan lenyap, musnah bagai tertelan bumi. Pikirannya spontan teralihkan gara-gara pemandangan di depan mata. Selagi menelusuri pekarangan luas, saking luasnya dia yakin setelah ini telapak kakinya akan dipenuhi lebam. Kalau tahu sedari awal, minimal dia bisa menyiapkan alas kaki yang pas seperti sepatu datar atau sandal sekalian asalkan dia dapat berjalan dengan nyaman.

Pekarangan rapi dihiasi taman hijau, benar-benar asri. Udara segar memenuhi kawasan ini, belum lagi penataan pepohonan pinus, beberapa tanaman hias bonsai, juga rerumputan yang dipangkas rapi menyelimuti permukaan lahan. Kecuali jalan setapak menuju pintu utama yang ditutupi paving block.

"Dia monster crazy rich atau apa ? Aku jadi tahu penyebab sikap sombongnya." Hinata menghela napas yang mulai terasa berat. Jarak dari gapura menuju pintu utama memakan waktu 7 menit, diperkirakan panjangnya 400 meter. Di depan kusen pintu dua, Hinata memukul-mukul betisnya bergantian. Ringisan perempuan itu turut terdengar. Kemudian akibat rasa cape yang membangkitkan ulang rasa jengkel tadi, bel pintu sengaja ditekan berkali-kali.

Dua orang gadis berpakaian seragam menyambut Hinata dengan santun dan ekspresi manis. Salah seorang dari mereka membawa bantal kecil beledu, di atasnya ada sepasang sandal bulu berkepala boneka rubah. "Silakan masuk, Nona. Ini untuk Anda, biarkan sepatunya tetap di situ. Tuan kami menunggu di dalam." Kedua pelayan berambut gelap tersebut agaknya telah lebih dahulu diberi komando oleh Tuan mereka.

"Saya yang akan mengantar Anda." Seorangnya lagi langsung menyambung. Dengan raut bingung Hinata menuruti semua instruksi keduanya. Termasuk kini dia masuk ke dalam, mengikuti langkah si gadis yang berambut cokelat. Sementara temannya mengambil sepatu hak tinggi Hinata untuk disimpan ke rak tertutup yang terdapat di genkan, di sebelah kanan pintu. Tidak sesederhana genkan di rumah-rumah tradisional Jepang pada umumnya, genkan ini didesain lebih modern dan lumayan lapang. "Maaf, Nona... tapi sebelum kita menemui Tuan, sebaiknya kaki Anda diobati. Takut Tuan marah jika lukanya diabaikan."

"Lakukan saja. Sejujurnya aku sendiri terlampau bingung apa yang harus kulakukan. Aku pilih menurut agar semuanya cepat selesai." jawaban Hinata menunjukkan kepasrahan, yang terpenting berkas dapat diserahkan dan dia segera pulang.
.
.
.

"Bagaimana kakimu?" Hinata dituntun ke ruang pribadi Naruto. Sebuah kamar yang biasa dia gunakan disaat bekerja dan membaca. Ada meja berikut kursi kerja. Laptop di atas meja, dengan tumpukan rendah dari beberapa map di tepinya.

Televisi layar datar menempel di dinding yang letaknya sejajar dengan meja. Ada sofa sudut beledu dengan meja bundar di depannya. Kemudian sofa pijat elektrik ditata menghadap ke jendela kaca yang mengarahkan pandangan langsung ke sebuah kolam renang bernuansa alam.

Comfort table (End)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang