Semua manusia itu baik, hanya kebanyakan dari kita memilih jalan untuk menjadi sebaliknya.
-------------------------Pertama, kita mulai pembahasan dari sebuah pertanyaan.
"Siapa manusia yang tidak pernah berbuat keburukan?"
Saya rasa tidak ada.
Ya... Karena kita adalah tempatnya salah dan dosa.
Tidak ada keburukan, kekurangan, cacat, cela, yang tidak pernah kita perbuat.
Meski sekali seumur hidup, kita pasti pernah melakukannya, kita pasti pernah melaluinya. Sadar tidak sadar, kita pernah terjatuh dan memikul beban dosa. Sadar tidak sadar, kita pernah terpuruk dan bersenandung dengan keburukan.Nah, pertanyaan kedua.
"Siapa manusia yang tidak pernah berbuat kebaikan?"Juga saya rasa tidak ada.
Karena semua manusia diciptakan lengkap dengan akal dan pikiran, diistimewakan pula dengan hati dan nurani yang fitrah (suci). Sebejad apapun, sedzolim apapun, seburuk apapun di mata kita yakinlah bahwa seseorang dan semua orang yang ada di dunia ini pasti pernah melakukan satu kebaikan. Pasti.
Hanya saja, kita tidak melihatnya secara langsung atau kita tidak menyaksikannya hingga kita tidak percaya bahkan kadang menganggap seseorang itu benar-benar buruk di mata kita.Nah, pertanyaan selanjutnya menyangkut soal judul.
"Mengapa lebih mudah menghakimi keburukan daripada menghargai kebaikan?"
Coba kita renungkan, sudah berapa banyak hati yang kita lukai?
Berapa banyak hati yang kita sakiti dengan penghakiman yang kita lakukan?
Kemudian bandingkan pula, sudah berapa banyak kebaikan yang kita hargai?
Apakah selalu kebaikan kita balas dengan setidaknya mengucapkan kata 'terima kasih'? Apakah sudah itu kita lakukan?Jika sudah, bersyukurlah.
Jika belum, menyesal lah.Sekarang ini saya akan bawa kita semua untuk benar-benar menyesal, menyesal telah pernah menjadi manusia yang seolah menjadi Tuhan untuk manusia lainnya.
Sekarang ini saya juga akan bawa kalian bangkit dari penyesalan itu, dan tidak lagi sungkan untuk berucap 'terima kasih, ya... ' kepada orang lain yang sudah memberi sebuah kebaikan pada dirimu, meski amat kecil, meski hampir tak terlihat.Sadar tidak sadar, kita pernah menjadi Tuhan untuk manusia lainnya.
Ya... Menjadi Tuhan yang tak layak, menjadi Tuhan yang tak pantas.
Karena kita hanyalah manusia yang hina dina, kemudian atas Kuasa dan kasih sayang Tuhan jadilah kita mulia.
Sayangnya, kita lalai dan lupa.
Menghakimi sesama, merasa tiada berdosa. Mempersulit keadaan, melalaikan soal perasaan.
Memperburuk situasi, menyumpah dosa manusia lain dengan caci maki.
Iyakan?Saya dan kalian semua pernah di posisi ini. Dimana kita merasa bahwa kita lebih baik dari manusia lainnya.
Merasa bahwa dosa dan kesalahan kita tak seberapa dibanding dosa dan kesalahan yang sedang kita saksikan di depan mata atau kita dengar lewat telinga.
Merasa bahwa kita akan lebih mudah diampuni, karena merasa kita jauh lebih baik dan lebih pantas atas pengampunan itu.Padahal, kitalah yang harusnya menangis. Kitalah yang harusnya meringis pada semesta. Kitalah yang harusnya menyadari bahwa kita benar-benar hina.
Sudah berbuat dosa, malah merasa lebih mulia.
Sudah berbuat salah, malah menunjuk orang lain lebih bersalah.
Sudah berbuat buruk, malah menghakimi orang lain lebih buruk.Saat itu, kita tiada bermalu.
Padahal, di atas sana mungkin saja Tuhan sedang tersenyum iba, merasa kasihan dengan kita yang tiada tahu diri, tiada menyadari bahwa kitalah yang harusnya dikasihani, tiada membuka mata bahwa kitalah yang lebih layak dihakimi.
Karena, kita sudah berlaku seolah Tuhan, padahal kita hanyalah hamba untuk Tuhan yang sebenarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNTUK SEBUAH PERUBAHAN
No FicciónSinggahlah, untuk menemukan sedikit dari banyak ketidaktahuan yang mengakar di kehidupan. Semua yang ada di sini hanyalah jalan menuju kebaikan. kelak, inipun akan turut menguap ke langit. "Nama akan hilang, raga akan mati, nafas akan terhenti, na...