"Solum Nati Sumus Non Nobis"

232 11 0
                                    

Solum Nati Sumus Non Nobis.
(Kita tidak dilahirkan hanya untuk diri kita sendiri).
-------------------------------

Suka tidak suka, mau tidak mau manusia terlahir dengan membutuhkan bantuan orang lain. Kemudian tumbuh dengan memangku 'ketetapan' sebagai makhluk sosial.
Nah, akarnya adalah ini.

Mustahil seorang manusia bisa hidup tanpa bantuan makhluk lain, tanpa bantuan orang lain. Karena kita hidup bukan untuk diri kita sendiri.

Beranjak dari hal inilah kemudian kita akan terus membutuhkan ulur tangan orang lain. Sengaja tidak sengaja, tampak tidak tampak, kita memang akan selalu membutuhkan orang lain.
Jangan pandang angkuh, jangan cakap sombong, kalau ada yang berkata bahwa dirinya mampu tanpa orang lain itu hanyalah bualan.
Akan ada masanya, ia akan membutuhkan orang lain.
Memang, tak selalu, memang tak setiap saat, tapi Tuhan mengatur alur hidup manusia pasti akan berbaur dengan manusia lain. Karenanya, jika ada orang yang mengasingkan diri, percayalah bahwa sebenarnya dia tak baik baik saja. 
Dan, jika ada pula orang yang mengasingkan orang lain, percayalah bahwa dia belum sepenuhnya menjadi manusia karena dia belum memegang prinsip untuk 'memanusiakan manusia lainnya'.

Kita pakai contoh sederhana.
Seseorang yang berkata 'Sudahlah, pergi sana! Aku tak membutuhkan siapapun!'.

Mungkin dia benar saat itu.
Ingat! Hanya saat itu.
Tidak dengan hari esok.
Mari pikirkan pakai logika. .

Esok,  orang ini pasti akan makan, kan?
Pasti butuh minum, kan?
Ia pasti akan mencari makanan dan minuman untuk mengisi perutnya.
Lalu, apakah makanan bisa ada tanpa campur tangan orang lain?
Apakah beras yang dijual di pasar atau supermarket itu tidak berasal dari orang lain?

Tidak usah jauh-jauh, itu saja dulu.

Maka, kalimat kemarin yang ia ucapkan sudah terpatahkan.
Sekali lagi saya tekankan, tidak ada manusia yang bisa hidup tanpa campur tangan orang lain, tidak akan ada.

Lalu, jika sudah begini apakah boleh kita hanya memikirkan diri kita sendiri?

Maka jawabannya tentu saja tidak.

Karena, mau bagaimanapun kita akan selalu hidup dengan berbagai peranan penting orang lain di hidup. Entah ketika dalam keadaan suka maupun duka, tangis maupun tawa, luka ataupun bahagia.
Akan selalu ada celah yang diberikan semesta untuk menyisipkan orang lain di hidup kita.

Kita tidak dilahirkan hanya untuk diri kita sendiri bermakna sangat dalam.
Bahwa dalam hidup ini sejak kita dilahirkan, tujuan kita bukanlah hidup untuk diri kita sendiri karena sepanjang kita hidup di dunia akan banyak sekali hal-hal yang kita lalui dan itu erat kaitannya dengan orang lain.
Dalam hal apapun, dalam semua bidang.

Saya ambil contoh lain dari kisah hidup saya saat ini.
Saya merasa kecewa, merasa benar benar patah sepatah patahnya. 
Saya merasa dunia mempermainkan saya, mempermainkan hidup saya. 
Ingin marah? Tentu.
Tapi, saya berusaha menahan itu.  Kenapa?

Akan ada fase kita memilih untuk benar-benar jauh dari orang lain.
Ego berkata bahwa kita tak ingin mengenal siapapun.
Namun percayalah bahwa realita yang akan menyeret kita untuk kembali menerima dan berlapang dada dengan jalan takdir.
Hendak kita tolak sekuat apapun, bila masanya tiba kita akan mencari orang lain.
Sekuat adapun kita berusaha hidup tanpa orang lain, pada waktunya kita akan menerima ulur tangan dan keperdulian orang lain. Itu sudah hukum alam dan kita tak berdaya menolaknya.

Maka, jika luka meminta kita untuk sendiri saat itu, tak ada yang salah.
Selalunya kekacauan hati memang meminta kita untuk menenangkan diri. 
Hari itu mungkin bukan hari kita, tapi tidak berarti segala pandangan harus kita ubah.

Hanya, kita perlu menyadari bahwa dalam hidup selalunya kita harus melakukan sesuatu sewajarnya, sekedarnya.
Termasuk soal peranan orang lain.  Kita amat merasa tak membutuhkan orang lain, pada nyatanya kita butuh.
Kita merasa sangat membutuhkan orang lain, realita mengajarkan kita bahwa tak selamanya kita bisa berpangku pada orang lain.
Itulah mengapa saya katakan cukup sewajarnya, cukup sekedarnya.
Yang terlalu angkuh akan dipatahkan.
Yang terlalu berharap akan dihancurkan.

Kadang, jika kita benar-benar mau membuka mata dan mulai menyadari bahwa terlalu banyak manusia yang hidup seolah merasa bahwa dia bisa tanpa orang lain.
Adapula yang terlalu mementingkan diri sendiri hingga mengorbankan orang lain. Kadang ego memang sekejam itu.

Banyak orang yang mengejar angan dan inginnya dengan berusaha sekuat tenaga melakukan dan mengupayakan banyak hal. Tak perduli apa kata dunia, tak perduli halal haramnya, tak perduli pahala atau dosa.
Yang penting tercapai, pikirnya.

Ya, memang.
Semua harus dicapai, semua harus diwujudkan, semua harus diraih.
Itu manusiawi.
Sangat manusiawi ketika dalam hati atau pikiran ada keinginan untuk mewujudkan cita cita atau tujuan hidup kita.
Yang tak manusiawi adalah ketika kita memandang semua jalan lurus dan tanpa belok, dalam artian kita mengaminkan semuanya dan memandang semua sama rata.  Hingga tiada lagi bedanya baik maupun buruk, semua dijalankan, semua dilalui.
Lantas, kalau sudah begini tidakkah kitalah yang rugi?

Memang, bukan rugi saat ini, bukan rugi sekarang juga. 

Nanti, nanti ketika kita sudah mendapat giliran di bawah, saat Tuhan sudah berkata 'tunjukkan keadilan pada orang itu!' di saat itulah jalan kita akan terasa sempit.

Kita yang dulu memandang orang lain sebelah mata, kita yang dulu menghalalkan segala cara demi mewujudkan cita cita, saat itu hanya akan dipaksa menikmati fana.
Karena sekali lagi saya katakan bahwa 'kita tidak dilahirkan hanya untuk diri kita sendiri'.

Saat itulah semua berbalik, kita yang menganggap bahwa kita bisa melakukan segalanya tanpa bantuan siapapun, kita yang merasa bahwa semua hal bisa didapatkan sesuai keinginan kita, hari itu kita akan dipecundangi semesta.
Barulah hari itu kita paham, bahwa kita hanyalah manusia.

Ingat hakikat manusia?
Tidak dapat melakukan apapun tanpa izin Tuhan.

Kita ini hamba, bukan tuan apalagi majikan.
Maka, jangan pernah merasa bahwa kita mampu sendiri, jangan pernah merasa bahwa kita terlahir untuk hidup kita sendiri.

----------------------------

Dari seseorang yang belum baik, tapi selalu merasa hidup di tengah-tengah kebaikan.
-Giovano A Brillian

UNTUK SEBUAH PERUBAHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang