12

1.4K 32 0
                                    

Nisa mengangguk dan menekan tombol merah seperti waktu di bandara dulu. Dia kemudian melepas cadarnya dan mengunci semua pintu. Fazza memicingkan matanya dengan curiga.
Nisa tersenyum sambil membuka seat belt nya. Kemudian tanpa peringatan dia beralih duduk di pangkuan suaminya. Dengan pipi merona merah dipandangnya mata suaminya. Fazza memeluk perut Nisa yang dirasanya sedikit berisi. Di usapnya dengan lembut. Nisa merasakan telapak tangan yang hangat mengusap lembut perut bagian bawahnya membuatnya sangat nyaman. Didekatinya bibir suaminya dan dikecup dengan lembut.
Fazza merasakan jantungnya berpacu gila saat dirasakannya usapan lembut pada bibirnya. Ditangkapnya tengkuk Nisa mencegahnya memisahkan bibir mereka. Dia memulai penjajahan nya di bibir sang istri. Kecupan hangat berubah menjadi lumatan penuh semangat. Suara dalam mobil telah berubah dengan desahan dan erangan lembut dari keduanya. Fazza sudah mulai meremas aset istrinya yang tak pernah membuatnya bosan. Sedangkan Nisa mulai duduk dengan tak tenang di pangkuan suaminya dan membuat sesuatu di bawahnya terasa keras dan menyengat.
Nisa kaget merasakan sesuatu menusuk pantat nya. Dia mendorong bahu Fazza dengan lembut dan memisahkan bibir mereka untuk menghentikan ciuman penuh semangat itu. Nisa meletakkan kepalanya di dada sang suami, mendengarkan jantung Fazza berdetak sangat kencang.
Fazza menyandarkan kepalanya di sandaran mobil sambil memandang langit sore di atasnya dari jendela bagian atas mobil. Jantungnya masih berpacu sangat cepat. Di remasnya pinggang sang istri dengan gemas.
"Kamu!!"
Nisa tersenyum memandang wajah suaminya yang masih merah padam.
"Maaf sayang. Aku tak bisa menahannya."
"Hah... Setidaknya jangan di sini. Kamu lihat di sekitar kita banyak sekali orang. Bagaimana bila aku tak bisa menahan diriku dan menyerang mu di sini?"
Fazza berkata dengan lembut. Dia tak pernah membentak istrinya. Di usapnya pipi Nisa dan di kecup dengan sayang.
"Baiklah. Aku akan keluar sekarang. Jangan lupa pakai kembali cadarmu. Aku tak mau siapapun melihat wajahmu."

Nisa mengangguk dan memakai cadarnya lagi. Fazza keluar dari mobil menghampiri sekelompok pemuda yang sedang mempersiapkan sholat Maghrib.
"Apa semua sudah siap?"
"Ya. Tadi aku ingin memanggilmu, tapi kamu sepertinya sedang sibuk. Jadi aku kembali kemari."
Fazza tersenyum dan mengangguk.
"Aku sibuk. Kau tau."
Temannya mendengus sebal.
"Ini di tengah Padang pasir dan di tengah kerumunan. Tahanlah sedikit. Kau sangat tidak sabar untuk mengusahakan seorang cucu bagi keluargamu?"
"Aku memang menantikan seorang pewaris datang. Tapi itu hanya bonus. Bagiku sekarang yang terpenting adalah istriku. Asalkan dia bahagia hidup bersamaku, itu sudah cukup."
"Kamu pasti sedang mabuk cinta."
Fazza memandang sahabatnya dengan sebelah mata,
"Kau hanya belum merasakannya."
"Kau lupa tentang dua istriku?"
Temannya tak terima di hina seperti itu.
"Kamu hanya belum menemukan orangnya. Yang bisa membuatmu bertekuk lutut di kakinya. Dan rela memberikan apapun yang dia inginkan dengan bahagia. Saat kamu menemukan wanita seperti ini, kamu akan tau bagaimana perasaanku sekarang."
"Kau terdengar sangat takut pada istrimu. Jangan sampai orang lain mendengar ini. Kau akan di tertawaan oleh mereka."
Fazza melirik temannya sebentar dan melengos. Dia menjawab sambil berjalan.
"Aku tak peduli."
Teman nya hanya menggelengkan kepalanya tak paham.

Nisa menyantap makanan yang di bawa dari rumah setelah sholat Maghrib dalam mobil. Padahal tadi dia melihat banyak wanita yang ikut serta. Tapi karena sang suami tidak mengizinkannya untuk turun dari mobil, maka dia hanya bisa mengikuti kemauan suaminya. Toh dia senang-senang saja. Sejujurnya dia tidak terlalu suka berada di tempat yang banyak orang. Nisa sangat suka kesunyian yang menentramkan hati.

Selesai dengan makanan, dia mengelus perutnya dengan sayang.
"Assalamu'alaikum sayang, apa kamu bahagia di dalam sana? Ibu akan memberitahu ayahmu tentangmu nanti. Kalian sabar ya.."
Nisa masih terus mengelus perutnya saat Fazza membuka pintu mobil. Dia menaikkan sebelah alisnya saat dilihatnya perut istrinya yang sedikit membuncit.
"Kamu sudah kenyang? Aku membawakan mu makanan dari prasmanan di sana."
Kata Fazza sambil menunjukkan piring penuh nasi kebuli dan daging domba yang melelehkan lemaknya. Membuat Nisa menelan ludah dengan rakus.
"Aku belum kenyang. Berikan itu padaku."
Nisa mengulurkan tangannya meminta piring yang di bawa suaminya.
"Sayang, sebaiknya makanan ini di bawa pulang saja. Jangan di makan sekarang. Perutmu akan sakit kalau terlalu banyak makan."
Nisa mengerjapkan matanya tak mau mengalah. Dia menggunakan jurus pamungkasnya. Matanya segera berair seperti akan menangis.
Fazza menghela nafas merasa kalah. Dia tahu kalau dia tak mungkin bisa menahan serangan mematikan mata anjing yang memelas milik istrinya.
"Baiklah, sedikit saja dulu. Lainnya di bawa pulang. Oke?!"
Nisa segera tersenyum bahagia.
"Terimakasih sayang"
Entah kenapa Nisa merasa sangat bahagia. Padahal itu hanya makanan yang biasa dia makan selama tiga bulan terakhir.
Fazza menggeleng tak berdaya. Dia merasa istrinya sedikit aneh belakangan ini. Kadang bisa tiba-tiba menangis. Kadang tiba-tiba tertawa.
"Baiklah simpan dulu makanannya. Kita akan segera pulang. Kamu membawa amplop yang aku minta untuk kamu siapkan tadi pagi? Tolong berikan padaku sekarang."
Nisa memandang suaminya kemudian segera memproses apa yang di minta. Dia mengeluarkan sebuah amplop yang lumayan berat.
"Ini sayang. Semoga dengan berkah dari sedekah ini, keluarga kita sehat dan bahagia dunia akhirat. Aminn.."
"Amin.."
Fazza ikut mengaminkan doa sang istri. Tadi pagi dia sempat terkejut saat meminta istrinya untuk menyiapkan sejumlah uang dan istrinya langsung mengambilkan uang itu tanpa bertanya. Saat dia bertanya kenapa Nisa tidak menanyakan kegunaan dari uang itu,
"Apa kamu tidak akan menanyakan untuk apa uang ini sayang?"
"Aku percaya padamu. Jadi apapun yang akan kamu lakukan dengan uang itu, maka lakukanlah."
Jantung Fazza berdesir hangat. Di peluknya sang istri dan di kecup lama dahi Nisa.
"Ini untuk sedekah nanti sore. Tolong di bungkus yang rapi ya sayang."
"Sedekah? Kalau begitu tunggu sebentar."
Nisa berjalan cepat ke dalam kamar dan kembali lagi dengan segenggam uang lain. Dia memberikan uang itu pada Fazza.
"Ini sedikit yang saya punya. Saya juga mau sedekah."
Fazza mengerutkan keningnya,
"Kamu tidak sayang pada uang ini? Rasanya mereka seperti tak berarti bagimu."
"Tentu saja aku sangat mencintai mereka. Uang ini adalah berkah dari suamiku. Kenapa mereka tak berarti?"
"Terus kenapa di sedekahkan?"
"Karena sedekah terbaik adalah apa yang paling kita sayangi. Jadi aku berharap nilai dari barang ini tidak hanya di dunia tapi juga sampai ke akhiratku kelak."
Fazza memeluk Nisa penuh rasa syukur. Dia merasa sangat beruntung. Wanita lain akan menganggap uang adalah segalanya. Tapi istrinya hanya menganggap uang sebagai salah satu cara mencapai surga Allah.

Hope My LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang