SSH 15

5 1 0
                                    

Sinar mentari dari celah tirai jendela berhasil mengambil perhatian seorang pemuda yang sedang terlelap di atas ranjang.

Mengerjapkan penglihatannya yang sedikit silau. Menyadari interior ruangan yang terasa asing membuat ia akan duduk. Namun, malah ringisan dan pusing yang dirasakannya hingga ia harus tetap bersandar pada kepala ranjang.
.

Cermin besar yang tersedia di ruangan itu memantulkan rupa seorang Rafka Irsyakail. Rambut depannya menutupi bandana hitamnya, jaket jeans dan sarung tangan yang biasa digunakannya saat keluar malam terdapat di atas meja hingga menyisahkan kaos hitamnya.

"Udah bangun, Kak?" Pandangannya teralihkan pada seorang gadis yang masih memegang gagang pintu dari luar.

Karena tak ada jawaban dari Rafka gadis dengan rambut sebahunya memasuki ruangan itu.
"Gak bisu 'kan?" tanyanya sedikit bergidik.

"Lo buta?" tanya Rafka sinis dengan suara seraknya. Ia sedikit mengalihkan pandangannya ke sembarang arah.

"Ngapain lo seret gue ke sini?" Bukan tanpa alasan Rafka bertanya demikian. Badannya terasa sangat remuk, padahal ranjang yang ditidurinya bagaikan gumpalan awan.

"Nyesel Aza nolongin nih orang," batinnya kesal. Azahrani Varneta, gadis yang sama dengan ditemuinya di UKS karena jabatannya sebagai ketua PMR SMA Atlanik, dan juga merupakan adik kelasnya.

"Aww ...," Ringisan itu membuat Aza menoleh padanya. Rafka ingin segera keluar dari rumah yang diyakininya rumah adik kelasnya itu. Tetapi, baru menggeserkan kakinya dari selimut saja ia sudah meringis.

"Ngipiin li sirit gii ki sini. Masih untung ke sini kalau ke kuburan ... baru mau? Ditolongin bukannya makasih malah garang gitu." Aza menyibakkan selimut tebal yang membalut kaki Rafka.

"Ngapain lo?" tanya Rafka bingung. "Kok, celana gue sobek-sobek gini?" tanyanya lagi saat melihat celana di bagian lututnya sobek hingga kulit kakinya tergores.

"Haduh, coba deh inget-inget dulu semalam ngapain di jalan!" Aza menyimpan selimut tadi di keranjang cucian lalu duduk di kursi santai samping jendela.

"Semalam?" Rafka mengingat-ingat sejenak. Yang terakhir kali Rafka ingat adalah saat ia mengendarai motor dan tiba-tiba dari arah belakang, sebuah motor besar dengan ditunggangi dua orang menendangnya hingga motornya terjatuh berkikisan dengan aspal dan melemparnya ke tengah jalan.

Untung saja Rafka menggunakan helm hingga melindungi kepalanya. Celana dan jaketnya yang kasar juga sobek karena melindungi kulitnya. Jadi, tubuhnya hanya lebam pada beberapa bagian.

"Gue jatuh dari motor?" tanyanya tak habis pikir karena untuk perdananya terjatuh dari motor. Walaupun, karena disengaja.

"Mungkin. Soalnya Aza gak lihat pesawat, kapal, atau tank di sekitarannya," jawabnya sedikit terkekeh.

Aza yang merasa canggung karena tak ada suara lagi mulai menggigit kukunya yang memang sudah dipotong. Entah apa yang digigitnya, mungkin hanya mengalihkan suasana.

Rafka melihat jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh lewat. "Gak sekolah lo?"

"Nanya Aza, apa dinding?" tanya Aza karena Rafka tak menoleh padanya. "Kalau Aza gak sekolah karna ... jagain Kakak. Karna di rumah gak ada siapa-siapa. Mm ... gitulah, makanya Aza izin," jawabnya. Ia semakin gencar menggigiti kuku-kukunya.

"Gue nanya dinding."

Aza mendelik mendengarnya. Satu kata dalam benaknya jika benar apa yang diucapkan kakak kelasnya itu 'gila'.

"Liat handphone gue, gak?" Aza menggeleng. "Liatin di saku jaket gue!"

Dengan patuhnya Aza menuruti perintah Rafka. Ia memeriksa jaket Rafka yang sudah tak layak lagi karena banyaknya sobekan. Bisa dibayangkan tubuh Rafka sesakit apa saat ini. "Gak ada."

Single Sampai HalalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang