"Aza obatin yah," izinnya terlebih dahulu kepada Rafka yang berstatus sebagai kakak kelasnya.
"Gue bisa sendiri. Lo keluar aja."
Aza mendelik sinis dengan ucapan Rafka. Kalau ini bukan tugasnya mana mau dia membantunya.Aza meletakkan kembali kapas dan beberapa botol obat kecil yang ada di tangannya ke tempat semula. Setelahnya Aza menghampiri Rafka dan mendekatkan wajahnya pada wajah Rafka yang tanpa ekspresi.
"Silahkan Kak. Bisa sendiri ngobatinnya, berarti tau juga cara awalnya buat diobatin," ucapnya dengan tersenyum meremehkan.Netra coklat Aza yang bertubrukan dengan netra hitam Rafka memancarkan api permusuhan. Aza tentunya kesal dengan Rafka. Kalau bisa sendiri kenapa teman-temannya harus repot-repot berteriak tadi. Padahal ia juga ingin ke kantin.
Dengan segera Rafka menoleh ke arah lain dengan wajah yang berkeringat dingin. Aza memutuskan untuk keluar saja. Tapi, belum selangkah ia berjalan tak sengaja ia sempat melirik ke arah Rafka yang sedang memegang dadanya seperti menahan rasa sakit.
"Kakak kenapa?" tanyanya khawatir seraya memegang tangan Rafka yang memegangi dadanya tapi langsung ditepis oleh sang empu. Rafka malah menunjuk ke luar seolah menyuruh Aza untuk pergi dari hadapannya.
"Apa jidatnya bocor sampai ke otak terus sampai ke dada? Kalau Aza tinggalin jangan sampai bisa mati. Kalau dia mati ntar Aza dipenjara gimana?" batinnya bertanya-tanya penuh rasa khawatir.
"Denger gak sih? Gue bilang keluar!" sentak Rafka yang masih mengontrol dirinya agar sedikit tenang. Ketahuilah saat Aza menatapnya seperti itu ia seolah terbawa ke masa lalu yang membuatnya trauma hingga saat ini.
"Gak bisa! Kakak harus diperiksa dulu! Aza gak mau dipenjara kalau kakak mati!" balas Aza sedikit berteriak. Dengan segera ia mengambil kembali obat-obatan yang sudah dikembalikannya.
"Mampus gue, nih anak batu banget sih! Tadi gue keringetan, kalau bentar gimana?" Rafka hanya bisa berteriak dalam hati.
"Kakak harus baring di brankar! Ayo cepetan!" suruh Aza tergesa-gesa namun Rafka masih tak bergeming.
Tak kehabisan ide, Aza mengambil cutter lalu menodongkannya pada Rafka. "Naik gak? Kalau nggak ... Aza tikam Kakak nih!"
Rafka terperangah, mau tertawa takut garing. "Lo keluar, gue bisa sendiri."
Aza mendengus kasar. "Awas aja Kakak mati terus aku yang disalahin yah," ucapnya lalu keluar.
Sekarang Rafka bingung harus berbuat apa. Ia sama sekali tak tau harus memulai dari mana. Sepertinya ia harus belajar mengobati diri sendiri kepada Alda agar anaknya ini tak harus berhadapan lagi dengan gadis mana pun apabila sewaktu-waktu kembali terjadi masalah seperti ini.
Rafka hanya mengambil kapas untuk membersihkan tetesan darah yang sudah mulai mengering di jidatnya. Lalu ia keluar dari bilik UKS itu untuk kembali ke kelas saja karna teman-temannya juga sudah tak nampak ada di UKS. Sepertinya mereka ada di kantin saat ini.
***
Di jam istirahat Rasya tak ikut dengan Anggi dan Adit di perpustakaan. Alasannya hanya mau di kelas saja. Tapi setelah keduanya keluar dari kelas ia juga keluar menuju kantin.
Rasya berinisiatif mengembalikan topi Renal dan membelikannya makanan di kantin. Bukan karena apa, ia hanya merasa kasihan dengan Renal yang sakit perut dan tidak makan ke kantin saat jam istirahat.
Rasya memperhatikan keadaan sekeliling saat menuju ke UKS. Memastikan untuk tidak menimbulkan kesalahpahaman. Bisa-bisa dia diejek teman-teman sekelasnya apalagi Anggi akan menuduhnya yang tidak-tidak sepanjang hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Single Sampai Halal
Ficção AdolescentePrinsip hidup pasti ada pada setiap insan. Rasya Irsyakail, seorang gadis SMA dengan mottonya "Single sampai halal." Pertemuan-pertemuan yang tak bersahabat dari Renal Al Fariz, sang rival. Hingga ia menghadirkan kalimat, "Gue yakin kita jodoh." Sa...