SSH 05

21 10 9
                                    

Larut malam di sebuah kamar bernuansa hitam-biru, seorang gadis sedikit menggeliat dalam tidurnya. Rasya mengedarkan pandangannya yang sudah sedikit jelas. Dilihatnya pada sela jendela untuk melihat langit yang ternyata masih gelap.

Tangan Rasya terulur mengambil HP-nya yang ada di atas meja.
"Masih gelap, besok pagi harus cepet bangun nih," pikirnya dan tak lupa ia menyetel alarm di HP-nya agar tidak terlambat bangun subuh. "Tuh selimut kemana dah?"

Rasya mencari-cari selimutnya. Saat tidur dia tidak suka memakai selimut dan di tengah malam ketika udaranya perlahan menjadi dingin maka ia akan mencari-carinya.

Sedikit menggigil ia menuju lemari, sepertinya selimutnya ada di situ.
"Ketemu! Lanjut tidur." Ia kembali menaiki tempat tidur dengan tubuhnya yang sudah tertutup sempurna oleh selimut.

***

Bunyi alarm disusul suara azan subuh yang berkumandang sangat mengusik tidur Rasya, dengan gontai ia menuju kamar mandi untuk berwudu dan menjalankan kewajibannya.

Sekarang masih sangat pagi, dengan cekatan Rasya bersiap untuk ke sekolah. Kebiasaannya saat ia dimarahi oleh ayahnya adalah tidak berhadapan dulu secara langsung, karena pastinya akan canggung, kecewa, dan mungkin marah.

Namun ia sadar. Saat dirinya marah kepada orang tuanya, sebenarnya bukan disebut marah melainkan kecewa. Siapa yang perasaannya tidak akan kecewa jika berbuat baik tetapi malah disangka yang tidak-tidak? Jelas tidak ada, pasti rasa kecewa itu akan hadir.

Bagaikan seorang maling yang mengendap-ngendap takut ketahuan, seperti itulah Rasya saat ini untuk segera keluar rumah.

"Mau kemana Ra?" Saat melewati kamar Rafka, kebetulan pintunya terbuka lebar sehingga Rafka yang baru saja selesai mandi melihatnya.

Rasya hanya melirik sebentar. "Bawa aja motornya sendiri!" Rasya tidak akan lupa dengan tekadnya semalam, ia tidak ingin berbicara dulu pada kakak kembarnya itu. Ia segera bergegas karena telah memesan taksi online

"Lah, napa tuh bocah? Lagian mana mau gue bawa motor butut ke sekolah, motor gue sendiri jauh lebih keren kali," batinnya.

Setelah beberapa menit bersiap dan sebentar memainkan game di kamar, Rafka memutuskan untuk turun sarapan. Dengan berjalan santai, ia menuju meja makan dan kebetulan sang ayah juga akan ikut sarapan.

"Ara mana, Ka?" tanya Irham saat menyadari jika putrinya belum kelihatan.

"Udah berangkat pagi-pagi banget," jawabnya. Rafka berniat mengutarakan sesuatu pada sang ayah. "Yah, Aka ada yang mau diomongin," lanjutnya.

"Sarapan dulu baru ngomong!" saran Alda dibalas anggukan oleh putra dan suami.

Setelah menyelesaikan sarapan, Irham memulai pembicaraan.
"Ngomongin soal apa?" tanyanya to the point.

Rafka berdehem. " Aka gak pakai motor yang di garasi lagi ... boleh nggak?" tanyanya penuh harap, semoga saja sang ayah mengizinkan. "Lagian Aka cowok, masa bawa motor matic."

"Emang salahnya apa kalau cowok bawa motor matic?" tanya Irham datar.

"Gak keren dong, masa anak pengusaha motornya gitu. Lagian aku udah ada motor sendiri, jadi ayah nggak perlu beliin," jelas Rafka.

Rafka itu anak yang baik. Hanya saja sifatnya yang sangat mementingkan harga diri.

Alda yang sedari tadi menyimak, menatap penuh tanya pada sang putra. "Kamu udah punya motor? Dapat dari mana?" tanyanya mengintimidasi sang putra.

Rafka bingung ingin menjawab apa. Ia tak mungkin memberitaukan yang sebenarnya. "Mm ... Hadiah dari temen, iya dari temen. Soalnya ia punya banyak motor," alibinya.

Single Sampai HalalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang