"Baik, kakek berjenggot lebat dengan dipenuhi uban yang shining shimmering splendid-nya menandingi Elsa Frozen ini namanya ... Professor Albus Dumbledore." Baru di bagian pertama—Harry Potter and The Sorcerer's Stone—Luna sudah berkali-kali mengetuk kepalanya dengan tangan yang menggenggam Query.
Oh, ayolah. Luna bukan seorang penikmat film barat. Selama ini, yang pernah ditontonnya hanyalah produksi Disney atau Pixar, yang hanya kartun imut-imut, itu pun masih menggunakan dubbing Indo. Bagaimana dengan series ini? Nama asing berseliweran, mantra aneh sulit diingat, bahkan bicaranya yang jauh lebih cepat dari durasi Luna membaca subtitle. Sudahlah, anime Jepang memang terbaik!
Namun, bukan Luna jika menyerah begitu saja. Dia memutuskan lanjut sampai The Prisoner of Azkaban. Ken tidak ke rumah Luna untuk mengajaknya menonton seperti biasa. Mungkin masih dikarantina bundanya dengan vaksinasi orasi yang diharapkan bisa membuat Ken kebal terhadap serangan virus kebodohan. Setidaknya, malam ini bebas dari kerecokan Ken. Hanya ada satu pengganggu: El yang duduk pahit di sudut kamar—spot favoritnya—dengan buku Fisika di tangan.
"Poin minusku di UTS kemarin, ada di Fisika." Tak lupa, El memasang wajah arogan, sarat akan rasa superioritas. "Sebagai seorang peraih peringkat satu di angkatan, sekaligus sosok dengan pikiran yang sedalam Segitiga Bermuda, bagaimana kau mengerjakan soal esai nomor tiga? Ditanyakannya berat pilot. Rumus berat adalah massa dikali percepatan gravitasi. Sementara diketahuinya adalah massa pilot di stasiun ruang angkasa yang jaraknya 12800 km dari bumi, dan jari-jari bumi adalah setengahnya, 6400 km. Bagaimana kau menghubungkannya dengan percepatan gravitasi?"
Anak itu pasti sengaja merusuhinya. Luna tidak mau diganggu. "Google memiliki jawabannya. Gunakanlah gadget-mu sebaik mungkin, oke?"
Tangan El masih tahan untuk menopang buku, di saat matanya hanya mau menatap nyalang ke arah Luna sedari tadi. Luna tidak mau menonton larut malam. Meski sudah menorehkan prestasi, Luna yakin Rena tidak akan membiarkannya begadang hanya untuk menonton film. Apa boleh buat. Pukul delapan malam. Karena baru menyelesaikan satu, Luna menyetel waktu ke pukul enam. El belum datang. Saatnya melanjutkan film.
"Triwizard Tournament, Mad Eye Moody yang memasukkan nama Harry di Goblet of Fire. Oke. Ini penting." Luna sibuk dengan buku catatannya yang sudah diberi judul Guide to Being a Good (—Girlfriend—) Potterhead.
El datang, lalu bersuara. "Poin minusku di UTS kemarin, ada di Fisika. Sebagai seorang peraih peringkat satu di angkatan, sekaligus sosok dengan pikiran yang sedalam Segitiga Bermuda, bagaimana kau mengerjakan soal esai nomor tiga? Ditanyakannya berat pilot. Rumus berat adalah massa dikali percepatan gravitasi. Sementara diketahuinya adalah massa pilot di stasiun ruang angkasa yang jaraknya 12800 km dari bumi, dan jari-jari bumi adalah setengahnya, 6400 km. Bagaimana kau menghubungkannya dengan percepatan gravitasi?"
Luna mengeluh tertahan. "Ketahuilah, aku sudah mendengar pertanyaan itu dua kali darimu. Sama persis."
Membingkai tatapan bengisnya, alis El mengerut. Apa Luna sudah rewind? Diliriknya layar laptop yang sedang ditonton Luna. Tampak scene di mana Harry Potter frustrasi karena kematian Cedric Diggory. Series keempat. El mengingat perbincangan Luna dan Melvin yang dikupingnya diam-diam, tadi siang. Gotcha. Luna memutar ulang waktu untuk ini. "Kudengar dari Tante Rena, kau sudah menonton sejak pulang sekolah, pukul dua siang. Nonstop. Tante memberimu waktu sampai pukul sembilan malam, persis ketika Tante membereskan urusan pekerjaannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Detik Detak✓
FantasySabotase alur kehidupan. Rentang kisah yang terburai. Semua ini berawal ketika Luna menerima pulpen-yang ternyata berupa alat untuk memutar ulang waktu-dari titipan mendiang papanya. Impresif. Tidak ada yang lebih seru dari melompati berbagai ruang...