"El lagi, El lagi, El lagi! Anaknya Mama itu siapa, sih?" Masih dengan kaus putih dan celana seragam olahraga Persatas, Luna kabur keluar rumah. Luna menyandarkan punggung di depan dinding pagar rumahnya sambil memeluk lutut. "Selalu saja dia yang diutamakan. Setidaknya, hargai El dan Ken yang sudah bla-bla-bla. Begitu saja, seterusnya. Sementara perasaanku tak usah dihargai. Ironis."
Setelah bermonolog untuk mengomel panjang lebar, Luna cukup terkejut begitu menyadari kehadiran seseorang yang menepuk lembut puncak kepalanya. Luna menoleh cepat.
"Om Sakti?"
Luna memalingkan wajah ke arah lain. Gusti ... Luna baru saja membicarakan El, dan papanya yang malah langsung datang ke hadapan. Luna hanya melirik singkat lewat sudut mata. Sakti tersenyum lembut, ikut duduk di samping Luna yang hanya beralas pijakan beton. "Lun, Luna tahu? Di kehidupan ini, tak ada manusia maupun alat canggih yang mampu mendeteksi dan mengabulkan keinginan abstrak dari internal seseorang. Kalaupun ada, tak akan sampai akurat seratus persen. Kau tahu kenapa?"
Sesaat, makian dan sumpah serapah itu berhenti berputar dalam benak Luna. Pertanyaan Sakti mulai terngiang-ngiang di otaknya. "Tunggu. Bisa, deh. Misalnya, aku mau mi ayam pangsit Mang Dod. Om Sakti tinggal belikan untukku, 'kan? Bukankah itu sudah memenuhi?"
"Om bilang, keinginan abstrak dari internal, lho. Entah itu rasa untuk dimengerti, diperhatikan, dihormati, dihargai, dan lainnya. Seperti kasusmu ini. Kau merasa Mama tak akan pernah mengerti keadaan dan keinginanmu, bukan? Menurut Luna, mengapa bisa begitu?" tambah Sakti.
Luna semakin tenggelam dalam lamunannya. "Karena ... kita sama-sama manusia yang kesulitan melakukannya?"
"Tepat." Sakti masih mengulas senyuman yang tampaknya sudah dilumuri formalin, tak luntur-luntur. "Semua itu karena keterbatasan manusia. Teknologi bisa berkembang. Google Translate bisa menerjemahkan bahasa apa pun. Tapi manusia, tak didukung fitur tersebut. Manusia tetap kesulitan menerjemahkan keinginan individu lainnya. Oh, apa Luna pernah merasa sedih atau marah tanpa tahu alasannya? Om sering. Tiba-tiba menangis di kesunyian, atau menjerit marah di keramaian. Lihat? Terkadang, kita bahkan tak mampu mendefinisikan perasaan dan keinginan kita sendiri, 'kan? Bagaimanalah bisa berlagak memahami orang lain?"
Terdiam. Luna tak tahu harus menanggapi seperti apa. Dari sudut hatinya, Luna mengakui bahwa perkataan Sakti benar adanya. Luna merasakan lengan Sakti merangkul pundaknya, hangat. Mau tak mau, Luna refleks menatap angkasa lamat-lamat, melukiskan sosok seorang ayah yang tak pernah ia saksikan wujud fisiknya di antara gemintang malam. Papa ... bagaimana caraku untuk bisa memahamimu? Lewat Query dan Buku Anti-Dimensi itu ... apa keinginanmu sudah tersampaikan kepadaku?
"Meski begitu, ilmu pengetahuan terus berkembang. Demi menjembatani jurang cela manusia, timbullah komunikasi untuk membahasakan rasa satu sama lain. Lun, mamamu hanya manusia. Kalau Luna merasa bahwa Mama tak kunjung mengertikan Luna, itu bukan kesalahan Mama sepenuhnya. Mama juga ingin bisa memahamimu. Kau mesti melihat betapa cemasnya ia ketika keluar-masuk rumah El setiap lima menit sekali, hanya untuk menanyakan kabar terbaru darimu. Mama selalu ingin memenuhi kemauanmu, Luna. Tetapi, tadi ... takdirnya sebagai seorang manusia tak mampu mengabulkannya. Lain cerita kalau kamu mau meluangkan waktu untuk mengemukakan perasaan dan keinginanmu, Luna. Mama pasti mendengarkannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Detik Detak✓
FantasySabotase alur kehidupan. Rentang kisah yang terburai. Semua ini berawal ketika Luna menerima pulpen-yang ternyata berupa alat untuk memutar ulang waktu-dari titipan mendiang papanya. Impresif. Tidak ada yang lebih seru dari melompati berbagai ruang...