24. Distopia

89 34 97
                                    

Mobil angkutan kota berwarna hijau tua melintas, membelah jalanan yang belum ramai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mobil angkutan kota berwarna hijau tua melintas, membelah jalanan yang belum ramai. Sopir mengamati jok belakang dari pantulan kaca spion tengah. Hanya ada tiga penumpang di pagi hari yang masih gelap ini: Luna, dan dua wanita setengah baya dengan keranjang anyaman di tangan. Kemungkinan besar, keduanya akan berhenti di Pasar Pancasila, pemberhentian terakhir angkot 07. Luna sudah berpindah jurusan angkot karena rute 07 ini tak melewati kawasan rumahnya.

Posisi duduk paling sudut sudah dikuasai Luna. Akan tetapi, udara dingin masih saja terasa menusuk hingga ke tulang-tulang. Luna memeluk dirinya sendiri, menciutkan tubuh. Giginya terantuk atas-bawah, menggigil parah. Ini kelewat dingin! Menjelang musim panas, sih. Biasanya, jam segini, Luna masih bergelung di balik selimut yang tebal nan nyaman. Bukan berpetualang lalu lalang macam Si Bolang begini!

Kedua ibu-ibu yang hanya mengenakan selapis daster berbalut kerudung tipis itu melirik Luna, menahan seringaian julid. Lihatlah! Anak itu bahkan sudah berpakaian lengkap sekali, mengenakan hoodie dan training tebal. Dasar, anak muda zaman sekarang. Jika sudah dihadapkan situasi begini, biasanya para mamak ini akan membanding-bandingkan dengan kehidupan masa kecilnya yang terbiasa dengan udara pagi buta tanpa mengeluh.

"Kiri, Mang. Depan! Gerbang Pangadegan itu." Luna menyerahkan selembar uang dua ribuan, menegaskan bahwa dirinya anak sekolah, sebelum ditagih dengan harga normal dewasa.

Di hadapannya adalah gerbang hitam dengan hiasan ornamen yang bernuansa merah putih. Biar Luna tebak, semua itu bekas perayaan hari kemerdekaan tahun lalu. Oke, what's next? Luna tidak mengenal kawasan ini dengan baik. Daripada diam membeku dalam lamunan, Luna memilih untuk berjalan menuju bangunan rumah di sudut lapangan. Keadaannya masih sama seperti terakhir kali Luna berkunjung untuk menyelesaikan kerja kelompoknya di sana. Lantas ... apa Luna ketuk saja pintu rumah Zea untuk menanyakan lokasi kediaman Pilar, ya?

Tangan Luna sudah terangkat di udara, ketika sudut matanya menangkap tiga pria dewasa yang muncul dari balik kelokan gang. Salah satunya berperut subur, ada yang lanjut usia, dan satunya lagi bercambang lebat. Ketiganya sama-sama mengerubungi tubuh dengan sarung. Ah, rajin sekali. Pasti mereka baru pulang shalat subuh berjemaah di masjid. Luna menggenggam sekeping harapan yang muncul. Ada penduduk asli, Luna bisa tanya! "Ehm. Punten, Pak?"

Ketiganya serempak menoleh. "Eh, iya, Néng?"

"Mau tanya. Rumah Pilar di sebelah mana, ya?"

Bapak berperut buncit itu melirik pada Pak Kumis yang Tidak Klimis di sebelahnya. "Job, Ojob! Pilar téh anak sulungnya Bu Kiran, ya?" Pak Kumis yang ternyata bernama Kang Ojob itu meresponsnya dengan anggukan heboh sampai cambangnya melambai-lambai. Luna pun cemas membayangkan bulu-bulu pipi itu terbang bebas. "Oh, iya. Di sebelah sana, Néng. Dari sini, ikuti rel kereta api ke kulon, terus di dekat kolam ikan itu belok kiri. Ada ... rumahnya cat kuning gading."

"Oh ... baik. Terima kasih banyak, Pak!" Luna nyengir semringah. Ia tak menyangka bahwa dirinya akan mengetahui informasi tempat tinggal Pilar secepat ini.

Detik Detak✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang