Dua

20 7 0
                                    

"Apa ditempat kerja mu ada lowongan?"

"Kemarin aku menanyakan hal itu kepada atasan, tapi dia bilang tidak ada tempat kosong. Semuanya sudah penuh dan menjadi pegawai tetap." ia merogoh saku celananya karena terganggu oleh ponselnya yang terus bergetar. Jika dilihat-lihat, ia masih ada jam kerja hari ini. Aku hanya menebak dari pakaian formal yang ia kenakan masih rapi. Yang membuat ku bingung kenapa ia mengajak pengangguran ini keluar. Apakah jadwalnya setelah ini akan padat?

Kesimpulan-kesimpulan sering ku buat di berbagai situasi, bahkan hal-hal yang tidak penting sekalipun. Aku tidak paham bagaimana cara otakku bekerja. "Sebentar, bos menelepon ku." ia bangkit dari kursinya, berjalan sedikit menjauh dari posisi semula. Aku hanya mengamatinya dari bangku, samar-samar aku mendengar obrolannya. Seperti pakaian yang ia kenakan dan pembahasan serius di dalamnya.

Keperluan penting di hari minggu memang mengganggu. Padahal telah terjadwal kalau tanggal merah digunakan untuk beristirahat dan menenangkan pikiran. Tetap saja petinggi perusahaan menunjukkan siapa yang berkuasa dengan mencuri waktu luang itu demi majunya sebuah usaha. "Aku harus pergi sekarang, urusan ini tidak bisa diundur. Kalo aku tidak menghadirinya bos akan mengoceh selama satu minggu berturut-turut. Kamu bisa pulang naik taksi. Oke bye."

Aku pernah merasakannya, dan itu seperti robot pekerja. Meskipun begitu kebosanan hilang sedikit demi sedikit lalu tergantikan oleh uang. Al sedikit berlari kearah parkiran. Sesekali matanya melihat jam yang menempel pada tangannya. Lalu menghilang dari jarak pandang ku.

Sendiri lagi, namun dalam suasana berbeda. Aku memutuskan untuk menelusuri jalan dan meninggalkan taman yang sudah mulai terasa panas akan teriknya matahari. Untung saja aku membawa uang cukup untuk mencari makan dan angkutan.

Jalanan padat membuat ku menepi dari keramaian, kemudian memilih untuk berjalan pada belokan jalan raya yang agak renggang. Berjalan lurus dengan kepala menunduk guna menghindari silau matahari tanpa melirik kearah lain adalah kesalahan kecil yang cukup membuatku malu. Aku menabrak seorang perempuan sedang menulis serta mengamati kondisi yang ada. Catatan ditangannya terjatuh saat badan ku menyentuh bahunya lumayan keras. Ia juga terlihat akan jatuh, tapi ia mampu menyeimbangkan badannya.

"Maafkan aku yang kurang berhati-hati."

Ia memungut kembali kertasnya sebelum kendaraan beroda mengoyak hingga tak tersisa. "Tidak apa-apa."

"Sekali lagi, maaf." aku hendak melanjutkan jalan ku, tapi perempuan itu menepuk pundakku. "Tunggu sebentar, sepertinya aku pernah melihatmu." aku berbalik badan, otomatis tubuhku berhadapan langsung dengannya.

....

Kami sekarang berada di sebuah kafe yang berjarak seratus meter dari tempat awal kami bertemu. Tidak enak jika mengobrol dipinggir jalan ditemani nada tak beraturan dari deru mesin. Entah kenapa aku mengiyakan ajakannya tadi, tapi tidak apa itung-itung aku menambah hubungan sosial dengan oranglain. "Bukankah kamu orang yang menjadi pembicaraan tetangga itu? Kalau tidak salah, kamu jarang terlihat bersosialisasi karena terlalu fokus dengan pekerjaan."

Sedikit tidak mengerti apa maksudnya itu. Apa iya ada gosip seperti itu didalam lingkungan tempat tinggal ku?. Tapi yang ia katakan memanglah benar, aku jarang terlihat keluar rumah kecuali saat bekerja atau berbelanja. Dan sisa waktu hanya ku gunakan untuk berdiam di dalam rumah untuk beristirahat. Sampai hari-hari berikutnya, kegiatan pun masih sama. "Bagaimana kamu tahu tentang hal itu?"

"Aku mengetahuinya karena aku adalah tetangga mu, rumah kita bersebelahan. Saat pertama kali kamu pindah, aku berniat untuk berkenalan dengan mu. Tapi kamu terlihat sibuk, jadi aku mengamati mu pada pagi hari. Tenang saja aku hanya penasaran bukan mata-mata." mungkin ia sudah menduga reaksi dariku saat ini. Mata melebar dan dagu ku tarik kebelakang, begitulah gambaran dari raut wajahku sekarang.

"Sebentar sebentar. Kamu perempuan yang tiap pagi menyiram tanaman?." anggukan yang ku dapatkan. Ia juga tersenyum tipis seraya menyingkirkan helaian rambut yang ingin menutupi wajahnya.

"Rainsley. Panggil saja Rain." aku membalas uluran tangan dan senyumannya. "Karel."

DIAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang