Lima

10 6 0
                                    

Aku masih berambisi untuk mencari pekerjaan baru yang serupa dengan pekerjaan sebelumnya. Sudah sekian kali aku menggulir layar laptop, tapi tak kunjung juga menemukan apa yang ku inginkan. Aku yakin tidak salah mengunjungi situs. Bahkan aku telah mencatat beberapa perusahaan kecil yang membutuhkan karyawan. Namun sepertinya aku tidak memenuhi kriteria mereka. Karena kebanyakan mencari orang-orang yang pandai dalam bicara. Sedangkan aku hanya akan bicara kepada orang-orang terdekat saja.

Dulu memang aku bekerja cukup lama di perusahaan, tapi kantor bersekat menyebabkan kurangnya interaksi dengan pegawai kantor. Dan aku merasa nyaman-nyaman saja timbang harus berbicara dalam kebisingan yang membuat pusing kepala. Jika harus menyesuaikan dengan lingkungan, berarti butuh satu tahun lebih untuk mendapatkannya.

Handphone ku bergetar dan menunjukkan nama kontak yang berani menelepon ku. Aldevaro, ia menghubungi ku setelah dua minggu. Aku kira ia bakal melupakan temannya untuk fokus ke pekerjaan.

Aku segera mengangkat telepon darinya, mengeraskan volume lalu menunggunya mengucapkan sesuatu. Sedang tangan kanan ku terus menggulir kebawah sampai layar memunculkan pemberitahuan yang baru.

"Kau dimana sekarang? Ada hal penting yang harus ku bicarakan padamu. Cepat datang ke apartemen di seberang kantor ku dan cari lantai dua nomor tujuh."

"Oke." panggilan ditutup secara sepihak. Entah mengapa Al tiba-tiba menelepon tanpa memberitahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku merasa curiga kepadanya. Tapi tangan bergerak untuk mematikan laptop dan kaki ku mulai melangkah ke luar rumah setelah mengambil jaket dan topi yang tergeletak diatas kasur.

....

Aku mengikuti perintah Al tadi di dalam telepon. Sangat mudah mencarinya karena aku hanya sedikit berbelok ke selatan untuk mencari tangga (untuk apa menggunakan lift ke lantai dua) sisanya menelusuri lorong dan berjalan lurus.

Pintu terbuka setelah aku mengetoknya. Terpampang jelas seorang perempuan masih dengan baju kerjanya yang bewarna hitam.

Kening ku mengernyit, mengingat-ingat siapa yang di depan ku sekarang ini. Oke, aku baru sadar bahwa dia adalah Raivenza. Entah aku lupa dimana aku mengenalnya pertama kali. "Masuklah"

Di dalam, Aldev sedang menyambungkan kabel cas laptopnya pada stop kontak terdekat. Ternyata dia masih menggarap pekerjaannya yang seharusnya dikerjakan di kantor.

"Ada apa memanggilku?"

"Begini, kata Venza-"

"Biar aku yang menjelaskan." ia duduk sedikit lebih menjauh dari aku dan Al. Membentuk seperti sebuah segitiga sama kaki. Matanya menatap serius ke arahku. Bibirnya sedikit ragu untuk membicarakan hal yang sepertinya sangat penting ini.

Ia menghela napas. "Adikku. Dia menjadi korban penculikan dan penyiksaan di gang sepi setelah pulang dari rumah temannya tahun lalu. Kira-kira sekitar jam sepuluh malam. Saat itu dia tidak membawa kendaraan karena ku sita. Untungnya polisi sangat tanggap menangani kasus ini dan nyawanya dapat diselamatkan. Tapi masalahnya dia mengalami gangguan jiwa karena trauma."

"Lalu? Apa hubungannya dengan mu?"

"Kau tidak tahu? Sekarang aku harus mengurusnya selama pemulihan. Dan tingkahnya astaga, aku tidak tahan lagi"

Badannya sekarang bergetar, juga mengeluarkan keringat. Ku yakin jika Venza ketakutan tentang apa yang ia lihat setiap hari.

"Apa kau bisa membantu ku?"

DIAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang